Beberapa hari terpisah, menjadi korban keserakahan waktu yang tak menentu. Wajah ini benar-benar wajah siapa. Aku menutup mata dan melihat banyak hal. Sepanjang waktu, mengucap sumpah serapah tanpa arah.
Sudah lama tidak menulis. Bukan karena aku tidak ingin menulis. Aku hanya bingung tentang apa yang harus kukeluarkan dari pikiranku. Bicara sekenanya. Menanggapi seadanya. Sekarang ini, makan sambil menangis lebih nikmat ketimbang bersuka cita mengunyah rasa.
Jika mendengar melodi, aku ingin bernyanyi. Tapi suara ini terasa begitu keras ketika terdengar oleh orang-orang. Menyepi seperti jalan tempuh yang lurus. Namun terasa begitu sempit. Aku ingin berteriak. Tapi aku enggan menyadari dimana setelah melakukannya.
Ruang dan cara bekerjaku selalu mewakili kenyataan. Berantakan, tak beraturan, berbenturan satu dengan yang lainnya. Kadang, aku ingin mengajak seseorang bicara untuk menguapkan didihan air panas di dalam. Tapi, itu bisa membuatnya yang entah siapa kepanasan, tidak nyaman, dan pada akhirnya aku hanyalah seorang peracau yang mengganggu.
Rok yang kupakai terasa sempit, bersila sangat menyiksa. Seperti melipat wajah dan menyetrikanya di bawah terik matahari. Sungguh aku ingin bersama seseorang saat ini. Yang lagi-lagi entah siapa.
Beberapa terkadang menyapa dan mengajak bicara. Tapi aku hanya serupa manusia yang pelit respon. Entah mengapa diam terasa sangat nyaman ketika diajak bersuara. Mendengar lagu-lagu diputar, aku ingin turut serta. Menggerakkan jari, kaki, kepala dan hati.
Tapi, aku tidak pernah mempercayakan diri pada tubuhku. Untuk begini dan begitu, selalu muncul banyak pertimbangan yang menyerang hingga larut malam. Aku menangis untuk berpikir yang sangat melelahkan. Hingga aku tertidur di sepanjang siang.
Ketika berkaca, aku selalu bertanya, "Wajah ini wajah siapa?"
Surabaya, 23 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H