Lihat ke Halaman Asli

Runive

Evi Nur Humaidah

Remahan Cerita Cinta di Negeri Asmara

Diperbarui: 26 Desember 2018   21:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kecamuk perdebatan batin di sekeliling atmosfir pembenaran sungguh memuakkan. Tentang si baik hati yang disia-siakan. Tentang si pendosa yang tiada henti dicela karna perbuatan masa lalunya. Tentang si kafir yang populer dimana-mana. Tentang manusia murah hati yang terlalu mudah luluh memberi pertolongan.

Belum lagi tentang penguasa yang bermuka dua, rakyat jelata yang merasa sengsara. Elit-elit yang berhati pelit. Fenomena sebaris kemarahan bibir pantai. Ditambah raut murka puncak-puncak api, memuntahkan kegelisahan perut bumi. Tanah-tanah resah akibat kesombongan dan keserakahan para pemijak kaki.

Sebuah kisah yang teramat panjang untuk digelar dengan serangkaian kata-kata. Segunung kalimat tak akan mewakili kesemrawutan hati para manusia. Ada yang tenang seraya menghakimi. Ada yang mati-matian membela diri demi sebuah nama berikut ada-ada yang lainnya.

Menyedihkan ketika para orang tua berdebat di warung kopi dan menyemburkan noda di muka lawan bicaranya. Tak mau kalah, sang wajah yang tak selaras menyapa membalas sembur dengan sesruput kopi di mulutnya.

Menyedihkan ketika anak-anak muda krisis mental dan jiwa. Membabi buta, mempersalah tanpa bekal yang membuat mereka ikut kelaparan nama. Menunjuk diri untuk diakui.

Menyedihkan ketika generasi penerus bangsa acuh dengan kebobrokan pola pikir lingkungan sekitar, bahkan dirinya. Tertawa-tawa, sengaja menepi sembari terus merusak diri.

Menyedihkan ketika para wanita tua memanggul duka ulah anak-anaknya. Merunduk tertindas pada pengguna-pengguna jelata. Dipermainkan harga-harga. Diculasi penimbun harta.

Miris melihat sampah melempar sampah di bawah kakinya sendiri. Mengapa kita menyelimuti Ibu Pertiwi dengan luka?

Dunia yang penuh cinta kini kotor dengan tangan-tangan dusta. Rasa dan citra bergumul dalam arena keserakahan. Hidup tidak lagi tentang ramah tamah. Tidak lagi tentang bagaimana bahagia bersama. Tidak lagi tentang saling menghargai. Segala hal telah banyak disalah arti.

Remahan cerita cinta di negeri asmara akan menjadi kisah mengerikan yang terbaca sebelum tidur. Membunuh kehidupan di sepanjang mata memandang. Melarutkan kepahitan di setiap minuman. Meracuni cita rasa pada makanan.

Kecemburuan telah membakar dinamika persatuan. Menggunting-gunting keberagaman dengan mengagungkan keakuan. Lupa dengan kita. Lupa dengan arti cinta yang sesungguhnya.

Akankah kau hilangkan cita dan asa kita semua dengan celoteh pembenaran sampah itu?

Surabaya, 26 Desember 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline