Sebuah sudut sempit terpasang di muka. Barangkali ia sedang menerka-nerka apa yang hendak dikatakan. Atau mungkin sedang melerai tangis dan tawa. Tapi pada akhirnya, sudut itu pecah. Dan aku hanya bisa tersenyum. Tersenyum tidak pasti, tanpa arti. Entah itu sebagai simpati, atau sebagai respon yang terburu-buru. Aku tidak bisa memaku wajah untuk sosok itu.
Sepertinya ada umpatan yang tidak tersampaikan. Terjaga tanpa bahasa verbal. Tidak lagi butuh suara untuk tau bagian mana yang sedang sakit. Entah ini kemampuan atau kesalahan. Saat bicara terasa percuma, aku hanya ingin berjalan di lorong-lorong yang sepi dan mengisi energi. Mungkin ada beberapa selera yang sama, tapi porsinya boleh jadi berbeda. Walau tidak dapat dipastikan siapa yang lebih banyak.
Rasanya tidak penting untuk menggambarkan torehan kehidupan yang telah kudapatkan kepada mereka-mereka yang bisa lepas bicara. Duduk di baris kursi yang sama tapi menulis tentang perbedaan. Hela napasku mungkin tidak terbaca, entah terlalu pelan atau memang tidak ada.
Pada suatu hari, aku membenci sesuatu. Membenci hal yang aku tau aku akan menyimpannya. Aku pergi, aku berlari, aku menjauh, tapi hatiku tetap datang. Aku tidak peduli, menariknya, memaksanya pulang, membentaknya di ruang yang sempit tanpa orang. Aku menyiksanya, memukulinya dengan kata-kata. Menyadarkannya dengan fakta-fakta.
Susunan anak tangga mendengar hentak sepatunya. Kuusap sisa debu yang tertinggal, kubawa pulang dan kuendapkan di tengah-tengah malam. Aku berdebat dengan puan yang maha bijaksana. Kujawab semua celotehnya. Kutentang semua pendapatnya. Aku memberontak pada rumahku sendiri. Hingga pada suatu waktu, kutemukan sepasang mimpi bertemu dalam lagu-lagu. Meski ragu masih mengganggu, kurasa tidak salah untuk sekedar merasakannya sesuka hati.
Sumber gambar: blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H