Lihat ke Halaman Asli

Evie Usman

Yang berkali-kali jatuh cinta padamu

Darelano

Diperbarui: 21 Juni 2023   12:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pic by Pinterest 

Darel datang di Minggu malam. Membawa oleh-oleh kue bolu untuk Mama. Penampilannya malam ini, tidak seperti di hari-hari lain lebih yang sering menggunakan kaos dan celana belel. Dengan kemeja berwarna abu-abu dan celana kain, ia lebih kelihatan lebih tampan dan berwibawa.

Mama dan Papa menyambutnya ramah. Mereka berbincang seperti sudah kenal lama. Aku pamit ke dapur untuk membuat minuman dan cemilan, meninggalkan tiga orang itu yang sedang mengobrol dengan hangat. 

Darel, kami bertemu dua bulan yang lalu di tempat yang temaram dalam keadaan aku yang kacau. Lampu jalan dan cahaya bulan tidak cukup menerangi gelap malam ketika itu. Aku baru saja diputuskan oleh Arie hanya karena meminta kepastian hubungan kami. Lima tahun bukan waktu yang singkat berpacaran, dan kurasa sudah saatnya kami saling berkomitmen.

Arie menolaknya dengan alasan-alasan yang membuatku muak. Ia masih belum siap untuk menikah. Ia masih butuh waktu yang panjang untuk ke jenjang itu. Lalu, apa gunanya ia memacariku? Atau seumur hidup kami hanya berpacaran tanpa menikah? Arie yang terus kudesak untuk segera melamarku, lebih memilih hubungan ini berakhir. Lima tahun itu tidak berarti baginya, berbeda denganku yang meraung dalam hati, ia membuatku patah hati.

"Nona, apa ada keluargamu meninggal? Kenapa terlihat sangat sedih?"

Pria itu apa ia tidak tahu, sedih bukan saja karena berita meninggal dunia, tapi banyak, salah satunya karena putus cinta. Di usia 27 tahun dengan mempunyai pekerjaan tetap, seharusnya ... aku sudah menikah. Nyatanya aku salah mengawali sebuah hubungan yang kupikir ia akan memberiku anak-anak yang lucu.

Pria itu, sejak kapan ada di sini, mungkin karena sibuk mengeja luka, tidak kusadari kedatangannya. Bahkan motornya yang terparkir di sisi jalan, sama sekali tidak terdengar bunyinya. 

Pria itu mendekat, ikut duduk di sampingku, di tepi jalan yang sepi. Jarak kami teramat dekat, tanpa permisi, aku menyandarkan kepalaku di pundaknya. Aroma sensual dari parfumnya menyerbu penciumanku. Sedikit menenangkan.

"Aku diputuskan. Hu-hu-hu," ucapku disertai sesenggukan. Air mataku tumpah tanpa bisa kutahan. 

"Cuma pacar ditangisi," timpalnya dengan nada yang angkuh. "Dia bukan siapa-siapamu, tidak pantas untuk ditangisi. Suami bukan, keluarga bukan."

Aku mengangkat kepalaku dari pundaknya. Menatap wajahnya yang tidak menunjukkan simpati dengan nasibku. " Kamu tidak pernah putus cinta, ya?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline