Setiap kali hujan turun, aku selalu setia duduk di samping jendela kaca. Bukan untuk menyaksikan butiran hujan yang jatuh ke bumi atau menikmati sensasi hujan yang bunyinya menenangkan. Aku di sini, untuk memandang perempuan berwajah manis berambut sebahu yang setiap kali hujan turun; selalu berlari-lari mengelilingi sekitar rumahnya sampai hujan reda.
Perempuan aneh.
Aku pun menjadi aneh, ketagihan melihat perempuan itu berlarian di bawah guyuran hujan. Bahkan aku selalu berharap, agar hujan tiap hari turun di sini supaya bisa melihat perempuan manis itu bercengkrama dengan hujan.
Namanya Arini. Nama yang manis, seperti orangnya. Kemarin aku bertanya tentangnya pada pemilik warung depan rumah. Ibu Yulia--sang pemilik warung banyak bercerita tentang kisah Arini. Kisah yang membuatnya menjadi seorang pluviophile.
Dua tahun yang lalu---saat Arini akan melangsungkan perkawinan dengan lelaki pujaan hati, Sang Malaikat maut menjemput terlebih dahulu calon suaminya. Ketika calon mempelai mendatangi kediaman Arini untuk mengucap ijab kabul, takdir berkata lain; pujaan hati malah berjodoh dengan kematian. Mobil yang ditumpangi mengalami kecelakaan tunggal, calon suaminya meninggal seketika. Kisah yang tragis.
Menurut Ibu Yulia, saat mendengar berita duka itu, Arini seakan tidak sanggup terima kenyataan. Dalam balutan gaun pengantin, Arini berlari keluar menembus hujan. Berteriak dan menangis. Menumpahkan rasa sakit dan kesedihannya pada hujan. Sejak saat itu, dia selalu menunggu hujan turun. Ah, Arini. Siapapun tidak akan ada yang sanggup menerima kenyataan seperti yang kau alami. Kehilangan orang yang kita cintai tidaklah mudah.
Di sini---di kota kecil ini, baru seminggu aku menginjakkan kaki. Pekerjaanku sebagai seorang lawyer tentulah harus bersiap untuk berada di mana saja, tergantung tempat klien berada. Kali ini aku menangani kasus berbeda. Aku ditugaskan oleh kantor untuk mempelajari kasus tentang tanah rakyat yang bersengketa dengan perusahaan asing. Tentulah ini memakan waktu yang lama. Dan pekerjaan kali ini, termasuk tugas kemanusiaan. Tanpa digaji. Saat atasan menawarkan, tanpa berpikir dua kali; aku langsung menerimanya.
Tentang percintaan. Beberapa kali aku menjalin asmara dengan beberapa perempuan. Saat kuliah, aku dijuluki play boy kampus. Namun, tak ada yang benar-benar membuatku jatuh cinta. Beberapa perempuan yang kutemui, hanya ingin menumpang ketenaranku sebagai ketua senat di kampus.
Ada pula perempuan yang menangis, saat aku memutuskan hubungan dengannya. Ariella---anak Fakultas Komunikasi, kekasih yang kupacari sejak semester empat itu tidak rela saat kuputuskan secara sepihak. Mau bagaimana lagi, aku sudah tidak kuat menghadapi sikapnya yang over protective. Sering cemburu tanpa alasan. Belum lagi sering memintaku menemaninya belanja di Mall. Menyebalkan.
"Aku janji Runa. Aku akan merubah sikapku." Ariella menangis terisak. Memegang tanganku. Mengiba. Namun, keputusanku sudah bulat. Tidak akan bersamanya lagi.
"Maaf, Ariella. Aku tidak bisa."