Lihat ke Halaman Asli

Evi Ghozaly

| Penulis | Praktisi pendidikan | Konsultan pendidikan |

Mereka Kangen Aku

Diperbarui: 10 Juli 2019   23:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pribadi

Dua jam perjalanan. Aku disambut empat anak spesial beserta orang tuanya. Sella cantik yang tak jelas bicara karena tidak memiliki langit-langit mulut dan lidahnya sangat pendek. Rico dan Zaki, dua jagoan yang (kata dokter tumbuh kembang) autis...dan Izul, si ganteng yang tuna rungu dan sedang mengalami trauma karena bullying.


Menjelang dhuhur, konsultasi dan terapi selesai. Aku bersiap pulang: berharap bisa segera bertemu lagi kakak, guru dan sahabat-sahabat lama yang sedang mengikuti seminar internasional di Bandar Lampung selama empat hari. Kangenku pada mereka belum habis.

Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara gedhubrakan di luar...lalu empat anak spesial lain memaksa masuk ke kantor. Rahman yang hobi mengacungkan jari metal, down syndrom, 8 tahun, berlari menabrakku, lalu menggelendot manja. Sidiq yang biasanya ramah, malangkerik dan melotot padaku. Juang yang tuna grahita, 16 tahun kelas 5 SD: merentangkan dua tangannya, menghalangi langkahku.

Dengan galak dia membentak, "Umy jahat. Tidak datang. Kangen", terbata dia teriak. Aku masih tersenyum. Tiga bulan telah membuat mereka kangen padaku. Sementara aku sudah 25 tahun tak bertemu beberapa sahabat yang menungguku. Aku harus segera pulang.

Aku meminta jalan. Juang dan Sidiq masih menghalangiku. Aku tetap melangkah. Tiba-tiba Sidiq memukul bahu kiriku. Belum usai kagetku, Juang menarik tangan kananku lalu dengan cepat menggigitku. Aku menjerit. Cepat kutarik tanganku. Rian, yang sejak tadi hanya berdiri diam, tangkas membantu memegang Sidiq agar tak lagi memukulku Aku terduduk. Menahan rasa sakit di tangan, menahan amarah di dada.

Mereka mengikutiku. Kami duduk berhadapan, berdekatan. Aku menarik nafas panjang, berkali-kali. Menenangkan gemuruh di kepala, juga di hati. Hening.

"Dengarkan Umy, Nak. Umy tidak datang kesini karena banyak tugas. Umy tidak jahat. Umy sayang kalian. Tapi kalau kalian pukul Umy, kalian gigit Umy...ini sakit. Kalau Umy sakit, Umy nggak bisa kesini lagi". Makin hening. Aku tak tahu apakah mereka paham yang kusampaikan.

"Juang...Sidiq...lihat mata Umy, Nak. Pukul, sakit. Gigit, sakit. Umy, nangis. Kita bukan teman", aku bicara perkata dengan menepuk tangan, mempraktekkan menggigit dan berpura-pura mengusap air mata.

Spontan Juang teriak, "Maap...maap. Umy baik, Juang baik. Kangen. Kangen".

Aku mengangguk...membuka kedua telapak tanganku. Berebut mereka meletakkan tangannya, bertumpuk...kami lalu saling menggenggam, sebisanya. Saling menguatkan. Dalam diam.

Ya...mereka hanya kangen aku. Mereka hanya bisa menahanku dengan cara itu. Bukan bermaksud menyakiti. Mereka tidak bisa tilpun atau mengirimkan foto sebagaimana yang aku lakukan jika aku kangen keluarga dan sahabat. Mereka juga tidak mungkin membuat status baper di fesbuk, wadul segala macam di WA seperti aku. Jadi ya wislah, terima aja dipukul-pukul dikit Vie. Asal nggak digigit aja. Sakit tau' :P

- Lampung Tengah, 08.11.2016 -




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline