Disusun Oleh :
1. Evi Diana Kartikasari ( Mahasiswa Program Studi Manajemen UPN “Veteran” Yogyakarta )
2. Dr. Dra. Purbudi Wahyuni, MM ( Dosen Program Studi Manajemen UPN “Veteran” Yogyakarta )
Pekerja/buruh merupakan tenaga kerja yang diperlukan setiap orang untuk bisa melakukan pekerjaan yang dapat menghasilkan sesuatu seperti barang atau jasa yang dihasilkan dari pekerjaannya. Pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kerja merupakan pekerjaan guna untuk memenuhi segala kebutuhan baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat yang sangat dibutuhkan. Menurut ketentuan UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan beserta peraturan pelaksanaannya, dari setiap peraturan pemerintah, peraturan menteri, hingga keputusan-keputusan menteri dalam ketenagakerjaan, maka ketenagakerjaan merupkan segala sesuatu yang berhubungan terhadap tenaga kerja pada waktu sebelum mendaftar diri sampai selesainnya masa kontrak atau hubungan pekerjaannya. Tenaga kerja merupakan suatu objek dalam kehidupan sehari-hari, yaitu dari setiap orang yang melakukan pekerjaan mampu untuk menghasilkan barang atau jasa, untuk kebutuhan sendiri dan orang lain. Pekerja atau buruh yaitu orang yang bekerja untuk orang lain dengan menghasilkan jasa atau barang, dari hasil tersebut menerima bayaran bisa berupa uang atau imbalan dalam bentuk lain. Pemogokan kerja kadang dilakukan oleh sebagian tenaga kerja sebagai cara untuk menyampaikan aspirasi mereka terhadap perusahaan. Di Indonesia masih banyak terjadi pemogokan kerja akibat kurangnya komunikasi antara pekerja/buruh dengan organisasi pengusaha. Banyaknya pemogokan ini menunjukkan bahwa masih banyak pekerja/buruh yang belum mendapatkan upah yang layak dan hak-hak mereka yang belum terpenuhi. Faktor penyebab pemogokan kerja bukan hanya dari sisi upah yang kurang layak, tapi juga faktor dari adanya pekerja/buruh itu sendiri, seperti keinginan untuk mendapatkan perhatian dari pihak perusahaan agar aspirasi mereka dapat didengar.
Pemogokan kerja dapat memberikan dampak yang signifikan, baik bagi perusahaan maupun pekerja itu sendiri. Dari perspektif perusahaan, dampak paling nyata adalah kerugian finansial yang dapat terjadi akibat terhentinya kegiatan produksi selama pemogokan berlangsung. Hal ini dapat menyebabkan penurunan pendapatan dan keuntungan perusahaan secara drastis. Selain itu, pemogokan juga dapat mengganggu rantai pasokan dan menyebabkan keterlambatan pengiriman barang atau jasa kepada pelanggan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi reputasi dan loyalitas pelanggan terhadap perusahaan. Dampak lain yang tidak kalah penting adalah penurunan produktivitas dan efisiensi perusahaan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pasca pemogokan, perusahaan seringkali membutuhkan waktu untuk memulihkan kembali kinerja dan produktivitas pekerja, serta mengembalikan kepercayaan dan motivasi kerja yang mungkin terganggu selama pemogokan berlangsung. Hal ini dapat menghambat upaya perusahaan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mencapai tujuan bisnis yang telah ditetapkan. Lebih jauh lagi, pemogokan kerja dapat merusak hubungan industrial antara pekerja dan manajemen, yang dapat memicu konflik berkepanjangan dan menciptakan suasana kerja yang tidak kondusif. Situasi ini dapat berdampak pada menurunnya moral dan semangat kerja pekerja, serta meningkatnya turnover atau perpindahan pekerja ke perusahaan lain. Kondisi seperti ini tentunya akan merugikan perusahaan, terutama dalam hal biaya rekrutmen dan pelatihan pekerja baru. Terakhir, pemogokan kerja juga dapat memberikan dampak negatif pada citra perusahaan di mata publik dan investor. Pemberitaan media mengenai pemogokan dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap perusahaan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kepercayaan dan minat investor untuk menanamkan modalnya di perusahaan tersebut. Hal ini tentunya dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan perusahaan di masa depan.
Pemogokan kerja merupakan fenomena yang sering terjadi dalam hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha. Pemogokan kerja dapat memberikan dampak yang signifikan, baik bagi perusahaan maupun pekerja itu sendiri. Pertama, kerugian finansial bagi perusahaan menjadi salah satu dampak utama. Terhentinya kegiatan produksi selama pemogokan berlangsung dapat menyebabkan penurunan pendapatan dan keuntungan perusahaan secara drastis. Selain itu, pemogokan juga dapat mengganggu rantai pasokan dan menyebabkan keterlambatan pengiriman barang atau jasa kepada pelanggan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi reputasi dan loyalitas pelanggan terhadap perusahaan. Kedua, pemogokan kerja dapat berdampak pada penurunan produktivitas dan efisiensi perusahaan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pasca pemogokan, perusahaan seringkali membutuhkan waktu untuk memulihkan kembali kinerja dan produktivitas pekerja, serta mengembalikan kepercayaan dan motivasi kerja yang mungkin terganggu selama pemogokan berlangsung.
Pemogokan kerja merupakan salah satu masalah ketenagakerjaan yang sering terjadi di Indonesia. Pemogokan kerja dilakukan oleh pekerja/buruh sebagai upaya menyampaikan aspirasi dan menuntut hak-hak mereka yang belum terpenuhi oleh perusahaan. Faktor utama penyebab pemogokan kerja adalah ketidakpuasan pekerja/buruh terhadap upah dan tunjangan yang diberikan perusahaan, yang dinilai tidak sesuai dengan kinerja dan kebutuhan hidup yang layak. Selain itu, kurangnya komunikasi dan harmonisasi hubungan antara pekerja/buruh dengan pihak manajemen perusahaan juga menjadi pemicu terjadinya pemogokan. Pemogokan kerja tidak selalu dibenarkan sebagai solusi pertama, karena dapat berdampak negatif bagi kelangsungan perusahaan dan perekonomian nasional. Sebaiknya, pekerja/buruh terlebih dahulu berusaha bernegosiasi dan berdiskusi dengan pihak perusahaan untuk menemukan solusi yang saling menguntungkan melalui musyawarah. Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 telah mengatur kewajiban pengusaha untuk menjamin kesejahteraan pekerja/buruh, termasuk dalam hal pengupahan dan peningkatan kompetensi. Hal ini menjadi dasar bagi pekerja/buruh untuk memperjuangkan hak-haknya secara legal dan konstruktif.
Untuk mencegah dan mengatasi pemogokan kerja, diperlukan upaya dari kedua belah pihak (pekerja dan manajemen) untuk membangun komunikasi yang baik, melakukan negosiasi secara adil, memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta menjaga hubungan industrial yang harmonis dan saling menguntungkan.
Kesimpulannya, pemogokan kerja di Indonesia masih sering terjadi, terutama karena kurangnya komunikasi antara pekerja/buruh dan pengusaha/organisasi. Penyebab utama pemogokan kerja adalah karena pekerja/buruh merasa tidak mendapatkan upah yang layak dan hak-hak mereka belum terpenuhi. Selain faktor upah yang tidak memadai, faktor dari pekerja/buruh sendiri juga menjadi pendorong terjadinya pemogokan, yaitu keinginan agar aspirasi mereka didengar dan dipenuhi oleh perusahaan.Oleh karena itu, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari kedua belah pihak, yaitu pekerja dan manajemen, untuk mencegah dan mengatasi pemogokan kerja. Membangun komunikasi yang baik, melakukan negosiasi secara adil, memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta menjaga hubungan industrial yang harmonis dan saling menguntungkan merupakan kunci utama dalam meminimalkan potensi terjadinya pemogokan kerja. Dengan demikian, konflik antara pekerja dan manajemen dapat diselesaikan dengan cara yang lebih konstruktif dan damai, sehingga kelangsungan operasional perusahaan serta kesejahteraan pekerja dapat terjaga dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H