The act of Killing di festival Movies That Matter:
Nasib bangsa didasari oleh uang dan kekuasaan?
Film The Act of Killing yang membuka luka lama bangsa Indonesia di tahun 1965-1966 di pertontonkan sebagai film pembuka di film festival "Movies that matter". Festival ini yang disponsori oleh Amnesty International adalah pentas film-film bertemakan hak-hak asasi manusia dan keadilan. Setelah pemutaran film diskusi dibuka dengan sutradara Joshua Oppenheimer. Suatu diskusi yang di satu sisi sangat menarik, tetapi disisi lain memilukan mengingat tragedi 1965 dan motifnya.
Ini memang bukan film hiburan gaya Hollywood tetapi suatu konfrontasi yang menyakitkan. Di jaman sekolah saya diajarkan sikap kepahlawan bangsa dalam memberantas komunis. Tiap tahun nonton propaganda film pengkhianatan 30 S PKI. Menjenguk sama teman-teman sekolah Lubang Buaya dan menyaksikan kekejaman komunis. Berkutat dengan pelajaran PMP dan PSPB yang sampai kini saya pertanyakan kegunaannya. Pelajaran sejarah cuman menghafal di luar kepala kalimat kalimat yang membosankan: tahun berapa Gajah Mada berkuasa, kapan Wali Songo bertahta. Waktu masuk universitas wajib duduk ikut penataran P4 100 jam. Seratus jam mendengar betapa mulianya undang-undang dasar dan Pancasila. Tidak ada kesempatan menginterpertasi sejarah, kesempatan untuk berdiskusi. Hanya ada satu kebenaran mutlak. Tidak diajarkan sikap kritis gaya Sokrates, sikap kemanusiaan gaya Voltaire, sifat manusia haus kekuasaan dari teori Machiavelli. Yang ada hanya betapa kayanya bangsa kita, betapa indahnya alam kita, betapa ramah-tamahnya orang Indoneisa, betapa lancarnya perjalanan sejarah kita. Sayangnya ini hanya ilusi.
Kenyataan kehidupan sehari-sehari sangat berbeda. Kemiskinan, kebodohan, dan kekerasan bukan hal yang asing. Juga korupsi dan eksploitasi alam dan binatang. Film The Act of Killing dengan lantang mempertunjukkan borok-borok ini dengan latar belakang sejarah di tahun 1965: jutaan orang mati dan pembunuhnya masih berkeliaran. Bahkan berkuasa. Bahkan bangga dengan perbuatannya. Fantasi kebesaran bangsa hanya embel-embel omong kosong. Masih mending kalau pembunuhan besar-besaran itu atas nama ideologi memerangi komunis seperti propagandanya orde baru. Sayangnya tidak. Motif pembantaian itu adalah uang. Dan Kekuasaan. Motif ini juga yang mempertahankan status-quo yang menghindari penalaran lain dari pembantaian ini. Menolak meminta maaf kepada keluarga korban pembantaian. Patriotisme dibangun untuk mempertahankan status-quo. Untuk tetap bisa kaya dan berkuasa. Saudara-saudari sebangsa dan setanah air, nasib bangsa kita di jaman orde baru ini didasari oleh uang dan kekuasaan.
Saya pulang dengan hati sedih: pesimis terhadap manusia. Malu jadi orang Indonesia. Tetapi kemudian teringat akan orang-orang Indonesia yang berpartisipasi dalam film. Mereka tercantum sebagai "Anonymous" di akhir film. Belum pernah saya lihat begitu banyak awak film dicantum tanpa nama. Diingatkan akan adanya orang Indonesia yang tidak bermotifasi uang dan kekuasaan, tetapi bermotifasi cinta. Cinta akan keadilan. Cinta akan seni. Terima kasih saya ucapkan karena kalian memberikan sepercik cahaya di alam bangsa yang gelap gulita. Pertahankan cahaya itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H