Konflik selalu menghasilkan korban, tidak hanya korban jiwa dan kerugian secara materil, tapi kesakitan yang mendalam yang dialami penduduk sipil selama konflik berlangsung akibat terpisahkan atau dipisahkan antar saudara. Sejarah mencatat, konflik yang berakibat perang antar saudara lah yang banyak memisahkan hubungan antar saudara tersebut, ketika kecil bermain bersama tapi ketika dewasa harus bersengketa karena berbeda paham dalam konflik. Sebut saja perang saudara antara Vietnam Utara dan Selatan dan konflik bersaudara antara Korea Utara dengan Korea Selatan. Bahkan, konflik di Korea masih terus berlanjut hingga sekarang.
Siang ini saya membaca sebuah berita yang dirilis sekitar Februari lalu, dimana dilaksanakan reuni antara keluarga yang “terpisahkan” akibat konflik Korea Utara dan Korea Selatan. Reuni tersebut mempertemukan sanak saudara yang sudah puluhan tahun berpisah. Meskipun beberapa diantara lansia menderita Alzheimer, kebutaan, gangguan pendengaran, dan penyakit lainnya, para tetua seperti memiliki tekad kuat untuk tidak melewatkan kesempatan langka bertemu kembali dengan orang yang dicintai.[1] Bagi mereka, pertemuan ini mungkin adalah pertemuan mereka yang terakhir. Kemungkinan besar tidak akan pernah bertemu kembali, karena banyak diantara mereka yang sudah berusia 70-an dan 80-an[2]. Kisah-kisah mengenai pertemuan tersebut yang disebarkan melalui media-media elektronik sungguh menyayat hati.
[caption id="attachment_349539" align="aligncenter" width="620" caption="Warga Korea Selatan Lee Young-shil (kanan) berbincang dengan saudari sepupunyanya yang menjadi warga Korea Utara, Lee Jong Shil, pada acara Reuni Keluarga yang Terpisah di resor Diamond Mountain, Korea Utara. Sumber (http://www.tempo.co/)"][/caption]
Setelah membaca berbagai berita tentang kisah di reuni antara Korea Utara-Korea Selatan tersebut, saya mulai bertanya-tanya, akankah konflik di Papua akan bernasib serupa, dimana sanak-saudara terpisahkan akibat konflik? Bila melihat sejarah, konflik di Papua memang sudah memisahkan sanak saudara yang berbeda prinsip, sebut saja antara Frans Kaisiepo dan Markus Kaisiepo, dua tokoh Papua yang merupakan saudara sepupu ini berseberangan prinsip, Frans Kaisiepo pro Indonesia sedangkan Markus Kaisiepo pro merdeka atau dapat disebut juga pro Belanda.
Baik Frans Kaisiepo maupun Markus Kaisiepo merupakan tokoh pemuda Papua sekitar tahun 40-an. Mereka diikutkan dalam sekolah pamong praja bentukan pemerintah kolonialis Belanda, Papua Bestuur School (Sekolah/”Kursus Kilat” Pamong Praja Papua). Lembaga itu didirkan Belanda untuk mengisi kekosongan petugas pemerintahan Belanda di Papua karena Belanda kekurangan banyak personil akibat invasi Jepang ke Indonesia tahun 1942-1945.Walaupun disekolahkan oleh pemerintah Kolonialis Belanda, Frans Kaisiepo tidak senang dengan nama sekolah yang diberikan Belanda tersebut, akhirnya ia memerintahkan kepada Markus Kaisiepo, saudaranya untuk menggantikan papan nama Papua Bestuur school menjadi Irian Bestuur School.
[caption id="attachment_349541" align="aligncenter" width="200" caption="Frans Kaisiepo. Sumber (http://biografiteladan.blogspot.com/2012/04/biografi-frans-kaisiepo.html)"] [/caption]
Adanya Sekolah tersebut, telah mewarnai kesadaran politik orang Papua. Dari lembaga itu para pemuda Papua dengan mudah mengikuti semua perkembangan situasi politik yang terjadi di seluruh wilayah Nusantara. Perkembangan politik itulah yang telah menginspirasi Frans Kaisiepo, Silas Papare dan para pendukungnya untuk berjuang membebaskan Tanah Papua dari Pemerintah Kolonial Belanda. Setelah selesai pendidikan tersebut, Frans Kasiepo menggagas berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM) tahun 1946 di Biak. Ia menggalang kekuatan di Biak guna menentang kehadiran Belanda di sana. Frans terlibat dalam Konferensi Malino tahun 1946 yang membicarakan mengenai pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai wakil dari Papua. Sebagai pembicara ia menentang pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) sebab NIT tanpa Papua. Sehubungan hal itu ia mengusulkan Papua masuk karisidenan Sulawesi Utara. Ia juga menolak dengan tegas pengangkatan dirinya menjadi anggota delegasi Belanda pada Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda. Sikap keras Frans membuat Belanda kemudian mengasingkannya ke tempat terpencil.
Sementara Pemerintah Belanda menentang para pemuda pro-NKRI untuk beraktifitas politik dengan menangkap para pemimpin pergerakan serta membuang mereka ke Makassar, Jawa dan Sumatera, Markus Kaisiepo dan beberapa tokoh lainnya pendukung Pemerintah Kolonialis Belanda didukung aktivitasnya oleh Belanda. Pemerintah Belanda mendirikan gerakan persatuan Nieuw Guinea, gerakan ini didukung tokoh-tokoh Papua pro Pemerintahan Belanda seperti Markus Kaisiepo, Johan Ariks, Abdullah Arfan, Nicolaas Jouwe dan Herman Womsiwor dimana mereka itu kemudian menjadi pendukung yang kokoh bagi pemerintah Kolonialis Belanda di Papua.
[caption id="attachment_349542" align="aligncenter" width="202" caption="Markus Kaisiepo. Sumber (http://www.west-papua.nl/Publiciteit/Papoea%20als%20schaakstuk/Papoea%20als%20schaakstuk.html)"]
[/caption]
Pada tiga bulan menjelang akhir tahun 1960, pemerintah Belanda membentuk beberapa partai dan organisasi politik untuk mempercepat pembentukan Nieuw Guinea Raad (Negara Papua Barat) melalui pemilihan umum, dalam usaha terakhirnya mencegah bergabungnya Papua dengan Indonesia. Organisasi-organisasi bentukan pemerintah kolonialis Belanda ini dipimpin oleh tokoh-tokoh Papua pro Pemerintah Belanda. Markus Kaisiepo adalah salah satunya, ia memimpin Partai Nasional (Parna) yang tegas menolak integrasi Papua ke Indonesia.
Pasca integrasinya Papua ke Indonesia, Frans Kaiseipo diangkat menjadi Gubernur Papua, memimpin pembangunan Papua, sedangkan Markus Kaisiepo pergi ke Belanda setelah sempat mengklaim sebagai Presiden Nieuw Guinea Raad tahun 1961.
Frans dan Markus Kaisiepo, 2 dari beberapa tokoh cemerlang asli Papua yang merupakan saudara sepupu, dipisahkan karena keduanya memilih jalan yang berbeda dalam konflik Papua di masa-masa awal. Kedua saudara sepupu ini, ketika masa kecilnya, mungkin tidak mengira bahwa konflik di Papua akan membawa mereka menjadi tokoh yang saling berhadapan. Sejujurnya, hal ini lah yang saya takutkan terjadi di Papua, karena konflik yang tidak kunjung usai. Pemerintah Kolonialis Belanda benar-benar berhasil memecah Tokoh Papua di saat itu, hingga konflik yang diciptakan Pemerintah Kolonialis Belanda masih saja berlangsung hingga saat ini. Dan terpisahnya sanak saudara, seperti halnya Frans dan Markus Kaisiepo masih bisa terjadi.
[1] http://health.liputan6.com/read/2023560/kisah-haru-keluarga-yang-terpisah-di-korea-utara-selatan
[2] http://www.voaindonesia.com/content/reuni-keluarga-korea-utara-dan-selatan-berakhir-selasa/1858556.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H