Lihat ke Halaman Asli

Dilema Seorang Wanita Papua: Antara Garuda atau Cenderawasih

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14067058051987721009

[caption id="attachment_350208" align="aligncenter" width="466" caption="Garuda dan Cendrawasih dalam uang logam pecahan 200 rupiah. Sumber : http://www.anehdidunia.com/2012/05/uang-logam-indonesia-yang-harganya.html"][/caption]

“Melelahkan”, itu kata yang saya ucapkan ketika seorang teman kampus saya bertanya pendapat saya tentang konflik di Papua. Pertanyaan tersebut saya pikir wajar terucap melihat tersebarnya berita kembali beraksinya OPM, atau yang selalu dibahasakan sebagai “Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB)” yang dianggap merongrong kedaulatan Indonesia di Papua, dan ketika ada wanita Papua berada di jantung wilayah Indonesia, yaitu di Pulau Jawa, maka pertanyaan-pertanyaan mungkin akan muncul. Apakah di hati saya “merah-putih” atau “bintang kejora”? Apakah saya memilih Garuda atau Cenderawasih? Apakah saya merayakan 17 Agustus atau 1 Desember? Apakah saya memilih Garuda atau Cenderawasih? Memang tidak ada pertanyaan eksplisit mengenai hal tersebut, tapi pertanyaan-pertanyaan “menjurus” untuk mengetahui apa pilihan saya dalam konflik di Papua pernah dilontarkan beberapa teman saya.

“Kau beruntung tidak lahir di daerah konflik” kata saya dalam hati bila ada pertanyaan yang “menjurus” tersebut terlontar kepada saya. Jangan salah menilai, saya tidak pernah mengeluh untuk lahir sebagai wanita Papua, kulit hitam dan rambut keriting seperti halnya ras Melanesia di Papua melekat pada diri saya, dan saya bersyukur kepada Tuhan akan hal itu. Tapi saya selalu berandai-andai, saya akan lebih bersyukur apabila dilahirkan sebagai wanita Melanesia di Papua yang damai.

Dalam bahasa sederhana saya, saya ibaratkan konflik di Papua sebagai konflik rumah tangga. Papua adalah ibu saya, Indonesia adalah bapak saya, integrasi Papua ke Indonesia adalah perkawinan bapak dan ibu saya, dan saya adalah anaknya. Ketika bapak dan ibu berkonflik dan perkawinan mereka terguncang, si anak lah yang menjadi korban. Akan menjadi beban bagi si anak bila harus memilih, karena memilih antara bapak atau ibu, tidak seperti memilih antara somay atau batagor. Maksud saya di sini adalah, pilihan ini bukan hanya pilihan urusan perut, pilihan ini adalah pilihan tentang batin.

Dan saya selalu berharap, pilihan “bapak atau ibu” tidak pernah hadir dalam kehidupan saya, karena saya menganggap pilihan “bapak atau ibu” bukanlah pilihan, si anak butuh keduanya. Pilihan tersebut, sampai kapanpun, akan melukai si anak.

Epilog

Kedua teman kost saya kembali dari liburan lebarannya sore ini, seorang wanita asli Purwekerto yang manis dengan jilbabnya yang berlebaran di rumah saudaranya di Karawang dan seorang wanita anggun asal Jakarta, kami memang menyewa kamar yang cukup besar dan biaya hidup ditanggung bersama. Masih sambil menulis artikel ini, saya bertanya kepada teman saya asal Jakarta, “Gimana, jadi putus kah kau dengan abang itu?” Tanya saya kepadanya. Teman saya ini memang berencana untuk memutuskan hubungan dengan pacarnya setelah menjalin hubungan lebih dari 7 tahun dengan alasan sudah tidak ada kesamaan jalan. “Entahlah” katanya singkat tapi terasa berat. “Sebelum putus, kamu ingat-ingat dulu apa yang telah abang itu lakukan buat hubungan kalian, apakah layak kalian berpisah?” kata teman saya yang berasal dari Purwekerto, bijak.

“Apakah layak kalian berpisah?” kalimat yang singkat, tapi tepat. Seperti hubungan antara Papua dengan Indonesia, apakah layak untuk berpisah? Lalu saya berfikir, apakah yang sudah dilakukan Indonesia untuk Papua? Apa hal yang paling berharga yang diberikan Indonesia untuk Papua. Setelah agak lama, saya berfikir mungkin bahasa Indonesia, adalah hal paling berharga yang diberikan Indonesia, bukan pembangunan, bukan kesejahteraan, bukan Otsus bukan juga UP4. Papua terdiri atas ratusan suku dengan ratusan bahasa. Suku-suku tersebut berdiri sendiri dengan bahasanya masing-masing. Bahasa Indonesia lah yang membuat antar suku bisa berkomunikasi, bahasa Indonesialah yang membuat kami terhubung satu sama lain, bahasa Indonesialah yang membuat orang Papua menjadi orang Papua selain orang dari suku mereka.

Mungkin, bapak dan ibu memang tak seharusnya berpisah. Mungkin, Papua dan Indonesia memang tidak layak berpisah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline