Lihat ke Halaman Asli

“Indonesiakah Saya?”: Cermin Stigmatisasi dalam Konflik Papua

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14083541772011765180

[caption id="attachment_353692" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi (Sumber : http://jakartabeat.net)"][/caption]

“Kalau orang Amerika ditanya Who came first, the chicken or the egg? Mereka akan menjawab the American”, kata teman chat saya, seorang wanita Australia, ketika saya menanyakan mengenai perbedaan antara orang Australia, Inggris dan Amerika Serikat. Sebenarnya maksud pertanyaan saya adalah perbedaan penggunaan bahasa English mereka, tapi rupanya teman chat saya ini punya persepsi sendiri mengenai “Orang Amerika”, yang katanya terlalu mengagungkan negara mereka.

Pengeneralisian teman chat saya terhadap “orang Amerika” diatas bisa disebut sebagai bentuk stereotipe. Sebenarnya stereotipe sendiri adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan, Stereotipe merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat. Misalkan saja, orang Jerman dianggap “Controlling and demanding” atau orang Spanyol dianggap “Always partying, so they need a good siesta”. Jadi, Stereotipe sifatnya bisa negative, positif atau netral.

Dalam bentuk negatif, Stereotipe bisa disebut Stigmatisasi. Menurut seorang tokoh sosiologi, Erving Goffman, Stigma adalah atribut negative yang dikaitkan dengan orang-orang yang dianggap menyimpang oleh orang “normal”. Hal itu mengidentifikasi bahwa pelabelan tentang sesorang diakibatkan oleh adanya ketidaksamaannya dengan orang-orang yang dianggap sebagai orang normal atau dalam hal ini “orang-orang pada umumnya”. Stigma yang diberikan seseorang kepada orang lain seringkali menimbulkan proses pembentukan identitas bagi orang yang dianggap menyimpang atau tidak normal. Stigmatisasi ini terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk terjadi kepada orang-orang Papua.

Papua, bila dilihat dari “bentuk” jauh berbeda dengan rakyat Indonesia pada “normalnya” atau “umumnya”. Kulit yang lebih hitam dan rambut yang lebih keriting dibandingkan yang lainnya. Oleh sebab itu, mau tidak mau akan hadir stigmatisasi terhadap orang-orang Papua yang berdasarkan kepada prasangka-prasangka berlandaskan pada sedikit informasi tentang orang papua tanpa berinteraksi langsung dengan orang Papua. Kurang terpelajar, etos kerja yang rendah, primitif, sex bebas, peminum minuman keras, temperamental, dan terbelakang serta termarjinalkan bahkan bagian dari saparatis atau anggota OPM kerap menjadi stigma orang-orang Papua, terutama yang hidup di bagian Indonesia lainnya.

[caption id="attachment_353689" align="aligncenter" width="520" caption="Perkataan Dzulkiflry Imadul Bilad dalam sebuah media sosial mengenai Papua. Setelah pertandingan Persib vs Persipura (Sumber : http://taufiqii.blogspot.com/2012/10/jaga-perkataan-di-facebook-okeyyy-by.html)"]

1408353422493929976

[/caption]

Berbagai kasus stigmatisasi Papua kerap terjadi oleh orang-orang Indonesia “normal”. Sebut saja Kasus Mahasiswa ITB jurusan kimia yang bernama Dzulkiflry Imadul Bilad yang terjadi sekitar Mei 2010. Atau masalah baru-baru ini, yang terjadi sekitar April 2014, pelakunya adalah Mahasiswa IPB Fakultas Kehutanan bernama Rachmad Suprianggono. Kedua masalah ini adalah buah dari stereotipe yang salah dan kebodohan pelaku dalam mengartikan Papua sebagai suatu entitas budaya, dan malangnya adalah kedua kasus dilakoni oleh mahasiswa 2 universitas terkemuka di Indonesia. Menyedihkan? Ya….sangat menyedihkan.

[caption id="attachment_353690" align="aligncenter" width="717" caption="Perkataan Rachmad Suprianggono dalam sebuah media jejaring sosial mengenai Papua (Sumber : http://suarakolaitaga.blogspot.com) "]

14083536671219338834

[/caption]

Sejujurnya, pihak yang paling merasakan pahitnya stigma tersebut adalah para mahasiswa Papua yang sedang menuntut ilmu di luar Papua. Termasuk ketika akhir-akhir ini, ketika berbagai faksi OPM, baik faksi politik maupun militer banyak menunjukan eksistensinya, termasuk aksi AMP (Aliansi Mahasiswa Papua) di Yogyakarta yang berujung ricuh dengan LSM setempat, stigma “Mahasiswa Papua adalah anggota OPM” dan “Mahasiswa Papua gemar bikin rusuh” banyak merebak. Padahal tidak semua mahasiswa Papua adalah simpatisan OPM, atau gemar bikin rusuh. Bahkan mahasiswa Papua di Manado aktif merayakan 17 Agustus.

[caption id="attachment_353691" align="aligncenter" width="917" caption="Mahasiswa Papua di Manado merayakan 17 Agustus-an (Sumber : Dok Pribadi)"]

14083539391509415307

[/caption]

Papua sudah berpuluh-puluh tahun berintegrasi dengan Indonesia, ketika ada orang Papua yang dikatakan “bodoh” atau “terbelakang” bukankah itu tanggung jawab kita bersama sebagai “Indonesia”? Ketika ada orang Papua yang ingin “keluar” bukankah itu tanggung jawab kita bersama sebagai “Indonesia”? Hal yang perlu dipahami oleh orang Indonesia “normal” adalah Integrasi Papua ke Indonesia, bukan hanya mengintegrasikan kekayaan Papua sebagai kekayaan Indonesia, tetapi juga mengintegrasikan masalah Papua sebagai masalah Indonesia.

Dan yang terakhir saya katakan, Stigmatisasi, oleh dan kepada siapapun serta dalam bentuk apapun, terasa begitu menyakitkan.

Robbins, Stephen P., Timothy A. Judge (2010). Organizational Behavior. Prentice Hall

Ritzer, George & Goodman, Douglas. (2011). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline