Teruntuk semua saudaraku, mahasiswa Papua di manapun berada…
Awan mendung dan pekat menyelimuti langit kota di pinggiran ibukota ini, Depok. Entah kenapa, ketika mendung menjelang, ada perasaan mendayu-dayu dalam hati saya. Tiba-tiba ada perasaan rindu Bapa dan Mama, rindu menginjakan kaki di bandara Sentani, Jayapura, rindu kampung halaman kita, Papua. Saat ini, kira-kira satu bulan sebelum natal tiba, belum juga saya pesan tiket pesawat ke Papua, bahkan untuk melihat situs pemesanan saja tidak berani karena takut melihat rentetan angka yang bisa berbaris rapih sampai 8 digit untuk pulang-pergi.
Ah, saya rindu Papua…saya jamin saudara-saudara pun seperti itu.
Tidak ada tempat yang penuh dengan wahana mendebarkan layaknya Dufan di Papua, tidak begitu banyak juga gedung yang mencakar-cakar langit di tanah kita, tapi kerinduan begitu melekat di hati kita. Rindu ini, bukan karena suatu apapun, tepi karena cinta terhadap tanah kelahiran kita. Hal inilah yang mendasari saya menuliskan tentang Papua di Kompasiana.
Sudah hampir 6 bulan sejak tulisan pertama saya, Antara Politik dan Agama : Sebuah Refleksi Wanita Papua, saya publikasikan di Kompasiana. Sejak itu saya mencoba memfokuskan tulisan-tulisan saya seputar isu-isu terkait kampung halaman kita, Papua. Dengan harapan bahwa permasalahan Papua tidak hanya diketahui oleh sebagian elite saja, tetapi oleh seluruh rakyat Indonesia. Sehingga Papua tidak hanya dikenal dengan Raja Ampat-nya atau Freepot-nya saja, ada banyak hal yang perlu diketahui rakyat Indonesia terkait permasalahan Papua.
Ternyata setelah saya menulis, begitu besar minat pembaca Kompasiana terhadap isu-isu di Papua, dan banyak yang memang tidak begitu banyak yang tahu mengenai masalah-masalah Papua, banyak juga yang memberikan pengalamannya ketika sedang bekerja di Papua. Tanggapan para pembaca Kompasiana ini menjadi masukan yang luar biasa bagi saya sebagai seorang mahasiswa Papua.
Saudaraku, sesama mahasiswa Papua, terutama yang melanjutkan studi di luar Papua…
Menjadi mahasiswa Papua, apalagi saudara-saudara yang melanjutkan studi di luar Papua seperti saya, menjadi tantangan tersendiri. Bukan hanya karena perbedaan budaya yang menyulitkan untuk beradaptasi, tetapi juga beban bahwa kita membawa nama “Papua” di kening masing-masing. Sehingga, baik-buruknya nama Papua, sedikit banyak tergantung kita membawa nama Papua tersebut. Ada banyak stigma-stigma buruk terkait mahasiswa Papua, seperti sering mabuk-mabukan dan tidak fokus dalam studi sehingga berimbas jatuhnya nilai akademik.
Stigma-stigma buruk tersebut harus dilawan, bukan dengan unjuk rasa atau demonstrasi, tetapi dengan bukti nyata. Jauhi minuman keras, fokus kepada studi dan peningkatan kualitas diri. Bukan hanya agar “dipandang” sebagai mahasiswa yang baik dan untuk menjaga nama baik Papua saja, tetapi kesadaran bahwa kitalah masa depan Papua, bagaimana kita bisa memajukan Papua ke depan bila kita hanya bisa teriak di jalanan tanpa bisa membuat konsep pembangunan yang nyata dan tepat bagi rakyat Papua?
Saudaraku….baik-buruknya masa depan Papua ada di tangan kita, baik-buruknya nama Papua di masa sekarang juga ada di tangan kita. Mari jauhkan nama Papua dari stigma-stigma buruk, tunjukan bahwa mahasiswa Papua adalah mahasiswa berprestasi. Mari tunjukan kepada orang-orang di sekitar kita, bahwa masa depan Papua akan cerah di tangan kita.
Untuk rakyat Indonesia lainnya yang membaca tulisan ini, sadarilah bahwa integrasi Papua ke Indonesia tidak hanya mengintegrasikan kekayaan Papua menjadi kekayaan Indonesia, tetapi juga mengintegrasikan permasalahan-permasalahan di Papua menjadi permasalahan Indonesia. Saling bertoleransi, saling membantu menyelesaikan permasalahan dalam diskusi dan saling peduli, karena itulah arti sesungguhnya dari sebuah integrasi.
Mari Mencintai Papua...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H