Lihat ke Halaman Asli

Jokowi, Jadilah Penjual Nasi Goreng yang Baik

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

141996557363165337

[caption id="attachment_387314" align="aligncenter" width="624" caption="Kedatangan Presiden Jokowi di Papua (Sumber : Kompas.com)"][/caption]

Kedatangan Jokowi di Papua beberapa hari lalu mendapat sambutan yang luar biasa dari rakyat Indonesia di Papua. Ada beberapa hal yang saya tangkap dalam safari Jokowi di Papua tersebut, salah satunya yang terpenting adalah dibukanya kembali rencana dialog damai di Papua. Bahkan Jokowi berjanji paling tidak 3 kali datang ke Papua, sebagai salah satu usaha membuka kembali upaya dialog damai tersebut.

Dialog damai Papua, kata-kata yang begitu indah diucapkan tetapi begitu sulit untuk dilakukan. Dialog akan lebih mudah dilakukan, bila diantara kedua pihak yang berdialog memiliki kesamaan kerangka berfikir, yaitu dialog damai dalam kerangka negara Indonesia. Permasalahannya adalah ketika belum ada kesamaan kerangka berfikir diantara kedua pihak yang akan berdialog, karena bila direncanakan untuk berdialog mengenai Papua, maka tidak mungkin tidak mengikutsertakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) dalam dialog tersebut. Sedangkan ada perbedaan yang besar antara kelompok-kelompok turunan OPM dengan Pemerintah Indonesia dalam memandang permasalahan Papua. Pemerintah Indonesia berniat membangun Papua dalam lingkup NKRI, sedangkan OPM bersikeras memisahkan Papua dari Indonesia.

Walaupun berpotensi berjalan sangat panjang, tetapi dialog damai Papua memiliki potensi untuk sukses bila pemerintah Indonesia dapat memetakan OPM dengan baik dan berdialog dengan cara yang tepat. Hal yang perlu dipahami oleh pemerintah Indonesia adalah OPM bukan merupakan satu organisasi saja, tapi ada belasan organisasi dan kelompok yang mengklaim bahwa kelompok atau organisasinya adalah OPM. Namun, secara garis besar OPM dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, Kelompok-kelompok OPM faksi militer dan kelompok-kelompok OPM faksi politik. Dua kelompok besar yang begitu berbeda, sehingga pola pendekatan pun juga harus berbeda.

Kelompok-kelompok dari faksi politik OPM

Ada belasan organisasi kelompok faksi politik OPM, beberapa yang terbesar adalah KNPB (Komite Nasional Papua Barat), NRFPB (Negara Republik Federal Papua Barat), WPNCL (West Papua National Coalition For Liberation), WPNA (West Papua National Authority), WPLO (West Papua Liberation Organization) dan FWPC (Free West Papua Champaign). Beberapa organisasi yang saya sebut ini, juga membawahi beberapa organisasi under bow lainnya. Dari sekian banyak kelompok-kelompok faksi politik OPM ini, hanya 2 organisasi besar yang berada di Papua, yaitu KNPB dan NRFPB. Sedangkan organisasi-organisasi lainnya berbasis di luar negeri, FWPC pimpinan Benny Wenda dan organisasi turunannya berada di Inggris dan beberapa negara lainnya di Eropa. WPNA pimpinan Jacob Rumbiak di Australia. WPLO di Amerika Serikat. WPNCL pimpinan Rex Rumakiek dan Andy Ayemiseba di Vanuatu.

Organisasi-organisasi ini biasanya menggunakan isu HAM dan keterbelakangan Papua dalam mengkampanyekan pelepasan Papua dari Indonesia di dunia international. Karena sering menggunakan isu HAM ini juga, para aktifis OPM dari kelompok-kelompok faksi politik sangat berseberangan dan tidak mengakui perjuangan OPM faksi militer karena kelompok-kelompok OPM faksi militer dalam melaksanakan usahanya memisahkan Papua dari Indonesia seringkali melakukan aktivitas yang bisa dianggap sebagai pelanggaran HAM. Sasaran kampanye kelompok ini adalah dukungan para anggota parlemen luar negeri dan lembaga kemasyarakatan internasional.

Usaha dialog untuk Papua kepada tokoh-tokoh dari kelompok faksi politik OPM ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, karena seperti halnya politisi lainnya, tokoh-tokoh dari faksi politik OPM juga mayoritas bersifat pragmatis. Apapun usaha pemerintah untuk membangun dan mensejahterakan rakyat Papua tidak akan menyurutkan usaha mereka untuk memisahkan Papua dari Indonesia. Oleh sebab itu, menurut saya satu-satunya cara adalah pemerintah harus terus membangun dan mensejahterakan Papua. Pembangunan dan kesejahteraan Papua dan rakyatnya dengan sendirinya akan mematahkan kampanye-kampanye yang dilakukan OPM faksi politik di luar negeri.

Kelompok-kelompok Faksi Militer OPM

Seperti halnya organisasi-organisasi faksi politik OPM, kelompok-kelompok faksi militer OPM juga terpecah menjadi belasan kelompok dengan masing-masing pimpinan yang berbeda. Biasanya setiap kelompok menguasai daerah tertentu dan tidak keluar dari daerah tersebut. Beberapa yang sering terekspos di media adalah kelompok pimpinan Teni Kwalik di Kali Kopi, kelompok pimpinan Ayub Paker di Tembagapura, kelompok pimpinan Goliath Tabuni di Tingginambut, kelompok pimpinan Puron Wenda di Pilia, kelompok pimpinan Lekagak Tenglenggen di Yambi, kelompok pimpinan MIliter Murib di Gome, kelompok pimpinan Leo Magay Yogi di Enarotali dan kelompok pimpinan Lambert Pekikir di Keerom.

Kelompok-kelompok faksi militer OPM ini seringkali mengklaim bahwa mereka adalah OPM sejati, karena setia tidak “lari” ke luar negeri seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh faksi politik OPM yang saat ini berada di luar negeri. Tokoh-tokoh faksi militer sering mengatakan bahwa merekalah yang paling berjasa dalam usaha memisahkan Papua dari Indonesia, karena tanpa adanya pergerakan dari kelompok ini maka konflik di Papua tidak akan pernah ada, kelompok-kelompok faksi politik OPM tidak memiiki isu yang diangkat di luar negeri dan birokrat-birokrat lokal Papua tidak akan menikmati otonomi khusus.

Walaupun sering melakukan aksi-aksi yang berakibat dengan tewasnya TNI dan Polri, saya melihat kemungkinan untuk melaksanakan dialog damai Papua dengan kelompok ini lebih besar dibandingkan faksi politik OPM yang cenderung pragmatis. Saya berpendapat seperti itu karena beberapa faktor Pertama¸dalam konflik Papua, kelompok-kelompok militer OPM ini tidak hanya sebagai aktor utama, tetapi juga menjadi korbannya. Bila terjadi kontak senjata dengan TNI dan Polri maka kemungkinan untuk tewas akan tinggi, kehilangan besar dialami oleh kelompok-kelompok faksi militer OPM. Bila terjadi dialog damai Papua maka salah satu kelompok yang paling diuntungkan adalah kelompok-kelompok OPM faksi militer. Kedua karena kelompok ini berada di Papua, maka bila pemerintah benar-benar concern membangun Papua dengan memperhatikan keistimewaan dan kekhususan Papua, dan mereka melihat hal tersebut, maka keinginan mereka untuk melepaskan Papua dari Indonesia akan surut. Kelompok-kelompok faksi militer OPM tidak bersifat pragmatis seperti halnya kelompok-kelompok faksi politik OPM.

Dialog Damai Papua, Jalan yang Panjang

Bila pemerintahan Jokowi memang ingin membuka kembali dialog damai di Papua, maka tidak mungkin tidak mensertakan OPM dalam dialognya, karena OPM adalah aktor utama dari konflik berkepanjangan di Papua. Perbedaan pandangan terhadap Papua antara OPM dan pemerintah Indonesia akan menjadikan jalan menuju dialog damai Papua ini begitu panjang dan berliku. Oleh sebab itu, walaupun penting, dialog jangan menjadi tujuan utama. Ada jutaan orang Papua di luar OPM yang berhak untuk mencicipi kue-kue pembangunan, jangan sampai jalan menuju dialog yang panjang dan berliku tersebut melupakan hak jutaan orang Papua lainnya.

Dalam bahasa sederhana saya, bila konflik Papua adalah nasi goreng, maka pembangunan dan kesejahteraan rakyat Papua adalah nasinya dan kembalinya aktivis OPM kepada merah putih adalah kerupuknya. Penjual nasi goreng akan dinyatakan berhasil bila ia bisa mengolah nasi dengan baik dengan bumbu yang tepat. Nasi goreng tidak lengkap tanpa kerupuk tapi kelezatan nasi goreng tidak dinilai dari lezatnya kerupuk. Seberapa pun crispy-nya kerupuk bila penjual gagal mengolah nasinya dengan baik, maka nasi goreng tidak akan pernah dikatakan lezat.

Jokowi, jadilah penjual nasi goreng yang baik




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline