Lihat ke Halaman Asli

Kabinet Jokowi Tolak RUU Otsus Plus, Elite Papua Minta Referendum

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14238222471488211116

[caption id="attachment_396686" align="aligncenter" width="472" caption="Lukas Enembe dan Timotus Murib (Antara)"][/caption]

Drama pengajuan RUU Otonomi Khusus (Otsus) Plus Papua kembali berlanjut setelah gonjang-ganjingnya sudah berlangsung dalam setahun terakhir. Dalam sidang Paripurna DPR dengan agenda penetapan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015-2019 dan Prolegnas Prioritas tahun 2015, ternyata RUU Otsus Plus Papua tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2015. Seorang anggota DPR dari faksi Demokrat asal Papua, Wiliam Wandik pun mengamuk dengan memukul meja beberapa kali dan membanting gelas dihadapannya ke atas meja, tidak terima kalau RUU Otsus Plus tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas.

Jalannya Persidangan Ditolaknya RUU Otsus Plus Papua Masuk Dalam Prolegnas 2015

Sidang penetapan prolegnas 2015 ini memang sangat alot. Pada awalnya, DPR memang tidak memasukkan RUU Otsus Plus Papua masuk Prolegnas 2015. Sebab, baru beberapa hari sebelumnya DPD mengusulkannya. Bahkan, Fraksi PAN dan Fraksi Partai NasDem secara terbuka menolak usulan DPD itu saat pleno digelar siang hari.Namun, saat fraksi-fraksi menyampaikan pandangan mini di pleno, tiba-tiba situasinya berbalik. Fraksi Partai NasDem yang awalnya menolak, justru mendukung RUU Otsus Plus Papua masuk Prolegnas 2015. NasDem bersama FPPP dan FPKB justru mendorong RUU Otsus Plus Papua masuk Prolegnas 2015. Sikap serupa juga ditunjukkan Fraksi PAN, Fraksi Partai Gerindra dan Fraksi Partai Demokrat. Sedangkan Fraksi PKS memutuskan abstain, sementara dari Fraksi Hanura tak hadir.

Sementara Golkar berpendapat RUU Otsus Plus Papua belum perlu masuk Prolegnas 2015. Juru Bicara Fraksi Partai Golkar, M Misbakhun mengatakan bahwa pihaknya sependapat dengan pemerintah untuk lebih dulu mengedepankan pembangunan di Papua. "Khusus RUU Otsus Plus Papua, Fraksi Partai Golkar sependapat dengan pemerintah dan ingin mengedepankan pembangunan Papua ditingkatkan agar setara dengan daerah lain di Indonesia," katanya. Sikap Golkar sejalan dengan FPDIP. Anggota Baleg dari Fraksi PDIP DPR, Masinton Pasaribu mengatakan, pihaknya juga sependapat dengan pemerintah yang ingin pelaksanaan Otsus Papua dioptimalkan terlebih dulu.

Terbelahnya fraksi-fraksi di DPR dalam menyikapi RUU Otsus Plus Papua membuat Menkumham Yasonna Laoly perlu memberi penjelasan. Menurutnya,  pemerintah bukan berarti menolak usulan tentang RUU Otsus Plus Papua. Namun, prioritas pemerintahan Jokowi-JK untuk Papua adalah kebijakan affirmative action untuk Papua. Misalnya dengan menambah dana Otsus, memperbanyak infrastruktur dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Selain itu Yasonna mengingatkan bahwa usulan RUU Otsus Plus Papua itu terlalu mepet untuk masuk Prolegnas 2015. "Apalagi usulan RUU Otsus Plus Papua ini masuknya saat injury time. Kalau revisi ini mau dimasukkan ke prioritas sekarang, saya juga harus konsultasi dulu dengan Menkeu dan Kementerian lain,” katanya. Akhirnya penjelasan Yasonna bisa diterima fraksi-fraksi yang menyetujui RUU Otsus Plus Papua. Sehingga, RUU Otsus Plus Papua pun tidak dimasukan dalam prolegnas 2015.

Otsus (Plus) Papua dan Ancaman Mogok dan Referendum

Terkait tidak masuknnya RUU Otsus Plus Papua dalam Prolegnas 2015, hari ini (13/2) Ketua MRP (Majelis Rakat Papua) Timotus Murib mengungkapkan kekecewaannya dengan mengancam bahwa jajaran pemerintahan di Papua akan melaksanakan mogok. Ia mengatakan “Karena draf RUU Otsus Plus telah ditolak maka semua pemerintahan di Tanah Papua mulai dari Kota, Kabupaten, Provinsi, DPR harus tutup dan mogok”. Timotus Murib mengklaim bahwa RUU Otsus Plus Papua ini merupakan suara keinginan orang asli Papua karena dalam pembahasannya, MRP melibatkan 383 peserta. Ketua MRP ini pun mengatakan, karena RUU Otsus Plus Papua ditolak maka harus dibuka ruan referendum bagi orang Papua.

UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU 21/2001) merupakan hasil win-win solution antara kelompok separatis OPM yang ingin memisahkan diri, rakyat Papua yang tetap menginginkan Papua berada dalam Indonesia dan Pemerintah Indonesia sendiri. Perjuangan UU Otsus ini sebenarnya sudah dimulai sejak 26 Februari 1999 ketika 100 delegasi yang mewakili berbagai elemen Papua dengan pimpinan Thomas Beanal menghadap Presiden Habibie, walaupun ketika itu keinginan untuk otonomi khusus ini belum terwujudkan. Desakan kepada pemerintah pusat untuk segera menggodok dan mengesahkan undang-undang otonomi khusus untuk Papua ini mencapai puncaknya ketika diadakan Kongres Papua II di Jayapura tanggal 29 Mei-3 Juni 2000. Akhirnya UU Otsus disahkan dengan ditandatangani oleh Presiden wanita pertama Indonesia, Megawati Soekarnoputri.

UU Otonomi Khusus merupakan usaha untuk memajukan potensi Papua untuk rakyat Papua oleh rakyat Papua dengan melindungi hak ulayat dari orang Papua, sehingga Papua bisa menyusul ketertinggalan dibanding rakyat Indonesia lainnya di kawasan tengah dan barat. Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah “untuk rakyat Papua”, bukan untuk segelintir rakyat Papua. Selama lebih dari 13 tahun penyelenggaraan UU Otsus di Papua ini dinilai belum maksimal untuk mensejahterakan dan memajukan rakyat Papua, oleh karena itu diajukanlah RUU baru, yang merupakan penyempurnaan dari UU Otsus Papua, yaitu RUU Otsus Plus Papua yang saat ini sedang diusahakan oleh para elite politik Papua.

Kurangnya Evaluasi Dari Pemerintah Daerah Papua

Selama ini, bila kita memperhatikan aksi-aksi unjuk rasa yang dilakukan organisasi-organisasi faksi politik dari OPM (Organisasi Papua Merdeka) seperti KNPB (Komite Nasional Papua Barat) dan AMP (Aliansi Mahasiswa Papua) selalu meneriakan tentang kegagalan Otsus Papua, kemudian menyalahkan pemerintah pusat terkait kegagalan tersebut. Bahkan, Ketua MRP (Majelis Rakyat Papua) dalam sidang MRP tahun 2010, Agus Alua mengatakan “Otonomi khusus gagal berarti sikap kita jelas refrendum”. Bahkan Ketua MRP saat ini juga menggunakan ancaman “referendum” dalam pengajuan RUU Otsus Plus Papua.

Ada pikiran bahwa “Otsus gagal, maka pemerintah pusatlah masalahnya”. Entah lupa atau sengaja dilupakan, bahwa berhasil-tidaknya pelaksanaan Otsus Papua bukan hanya andil dari pemerintah pusat, pemerintah daerah Papua, sebagai pelaksana Otsus Papua juga ikut andil akan hal itu.

Hal ini perlu disadari oleh pemerintah daerah Papua, bila elite politik Papua selalu meneriakan “Otsus Gagal” maka tidak beda seperti melempar kotoran di muka sendiri. Bila Otsus dinilai gagal maka seharusnya pemerintah daerah Papua melaksanakan evaluasi yang mendalam. Prilaku korupsi para pejabat Papua dan tidak profesionalnya birokrat dan PNS di Papua (lihat : Identifikasi Permasalahan Papua Lewat Metode 5 Why’s Analysis) harus masuk dalam pembahasan evaluasi tersebut, bukan hanya menyerahkan segala kesalahan kepada pemerintah pusat. Evaluasi menyeluruh harus dilakukan oleh pemerintah daerah Papua dalam pelaksanaan Otsus Papua sebelum mengajukan RUU Otsus Plus Papua, agar kesalahan yang sudah terjadi, tidak terjadi kembali.

Lord Acton, seorang penulis dan politikus pernah mengatakan salah satu kalimat terkenalnya “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Dengan RUU Otsus Plus Papua maka pemerintah daerah Papua akan memiliki kewenangan yang luar biasa besar. Tanpa evaluasi ke dalam yang menyeluruh oleh Pemerintah Daerah Papua, maka peningkatan kesejahteraan rakyat Papua tidak akan terjadi, malah yang meningkat adalah prilaku korupsi elite-elite Papua.

Kesimpulan

Saya meyakini bahwa Lukas Enembe, sebagai Gubernur Papua mempunyai niat yang baik dalam pengajuan RUU Otsus Plus Papua ini. Tapi untuk memajukan Papua tidak cukup hanya dengan niat yang baik saja, butuh eksekusi yang tepat di setiap lini. Pengajuan RUU Otsus Plus ini tidak seharusnya diajukan terburu-buru, butuh evaluasi yang mendalam di dalam birokrasi Pemerintah Papua sehingga kesalahan di Otsus yang diklaim gagal tidak diulang kembali. Butuh penelitian lebih lanjut mengenai “hal-hal baru” seperti partai politik lokal misalnya, apakah tepat dengan kondisi masyarakat Papua, agar “hal baru” tersebut yang pada awalnya memiliki semangat memenuhi hak masyarakat Papua tidak menambah permasalahan di Papua. Seperti kata seorang sutradara perempuan asal Russia, Sonya Leviaen yang mengatakan ”Good Intention Are Not Enough”.

Anggota DPR Ini "Ngamuk" karena RUU Otsus Papua Tak Masuk Prioritas

MRP Minta Roda Pemerintahan di Papua Harus Ditutup Total

Dukungan Golkar & PDIP Bantu Pemerintah Loloskan RUU Prioritas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline