[caption id="attachment_187365" align="aligncenter" width="630" caption="Ilustrasi Laut Bira (alfadii.blogspot.com)"][/caption] Ammar banyak merenung. Sudah tiga bulan ia malas makan. Anjing-anjing peliharaannya juga sama kurusnya. Babi-babi jadi bebas berkeliaran. Siang hari ia banyak duduk di atas di pan di bawah rumpun bambu, memainkan pui-pui yang iramanya mendendang seantero Ammatoa. Kampung Kajang menggeliat meski masyarakatnya percaya hari ini setingkat di atas hari kemarin. Puang Labbo, sang ayah tak begitu peduli anak sulungnya mau menggembala di mana. "Bakka' na maccamo". Sudah besar dan pintar mengurus diri sendiri. Sang ibu, Puang Asse tak banyak kuasa jua. Tubuh dan pikirannya lebih renta, pandangannya sempit untuk mengikuti bayangan indah di dalam benak anaknya yang membelah rimba untuk melihat dunia luar. Ammar sering merasa sendirian. Kadang anjing menggonggong berusaha mengerti perasaannya, tapi ia tak banyak peduli. Pui-pui membelai lamunannya. Sejurus kemudian muncul banyak pertanyaan di benaknya, jauh lebih berwarna dari sekadar hitamnya pakaian orang-orang Kajang. "O, daeng." Terdengar sapaan dari belakang. Tak ia pedulikan, hingga akhirnya merasakan passapu-nya disentuh dengan benda keras. "O, daeng!" Hei, kakak. Ammar terkesiap juga. "Ya, anddikku." Ya, adikku. Saat melihat wajah adiknya itu, Ammar tersenyum. Ada angin yang menembus sela-sela nyiur kemudian membelai pipinya seketika, membuat tangannya terjulur untuk memapah sang adik ikut naik ke dipan. Tentu bukan perasaan sembarangan. Ingatannya yang begitu kuat tentang perilaku santaun adiknya tak kuasa membendung naluri laki-lakinya untuk berlaku lembut, meski di kalangan muda Ammatoa ia disegani karena suka berang tak tentu aral. "Naiklah, adikku. Akan kuceritakan sesuatu." Banni, sang adik, rupanya lebih suka memainkan passapu daripada mengenakan lipa sabbe. Ibu berulang kali menjelaskan padanya bahwa lipa sabbe, sarung tenun khas Bugis itu adalah hadiah besar yang tak bisa diabaikan. Tapi Banni berpendapat lain. Ia memakai apa yang diingininya saja. Tak mengherankan juga ketika beberapa kali puang kehilangan lintingan rokok setengah jadinya begitu saja. Banni mengutilnya diam-diam, sementara Ammar yang menikmatinya. "Aku ingin mencari laut, Dinda." Ammar kemudian menerawang lagi ke arah nyiur melambai. Perasaannya jauh lebih damai kini. "Di mana itu laut, kanda?" Ammar tersenyum. Ia lalu menarik tangan adik perempuannya, mengarahkannya ke langit di sebelah selatan. "Di sana, dinda. Adalah surga tempat orang-orang tertawa setiap hari." "Di sini juga, kita bisa tertawa setiap hari." Banni protes dengan pikiran kecilnya yang ikut menggeliat. Tak sedikitpun bayang-bayang nyata laut ia dapatkan sejak lahir. Hanya selentingan-selentingan kecil yang sampai ke telinganya bagaimana ikan asin berbumbu kacang tanah bisa sampai ke ruang makan di rumah mereka. Usianya belia, belum pandai mereka-reka. Ammar tentu tersenyum atas timpalan adiknya itu. Bagaimana ia menjelaskan lagi, persoalan lain. Tapi ia tak ingin mencederai keyakinan adiknya itu. "Aku mau mencari laut itu, dinda." "Mengapa?" Banni memprotes lagi. "Bukankah Ammatoa menyediakan semuanya untuk kita?" Ammar terdiam sesaat. Angin berhembus. Bunyi-bunyi dedaunan seperti berbisik, mulai memilih pihak. "Aku tahu itu. Ammatoa mengajarkan kita hidup. Bukan hidup untuk sendiri, tapi hidup lebih mandiri. Tapi ..." Ammar merenung sesaat. "Tapi apa, daeng?" "Tapi ada yang memanggilku di luar sana." "Laut?" Ammar mengangguk. "Bunyi ombak dan laut tiba-tiba beriak-riak di dalam kepalaku, andik. Memanggil-manggil, seperti bilang bahwa rezekiku ada di sana, jauh di kedalamannya, dekat di atas buihnya." Banni kini yang terdiam. "Daeng ...," katanya. "Hm?" Ammar masih melayang-layang di awan imajinasinya. "Battu ratema' ri bulang." Ammar terkesiap. Ada apa gerangan adiknya berkata pepatah lama itu? "Sudah ke bulan, andikku?" Banni mengangguk. Ammar tertawa. Seakan suaranya membangunkan burung-burung dan kelelawar Kajang dari tidur siang mereka. Beberapa pohon kopi meranggas karena terkejut. Suara pemuda yang penuh kekuatan rima. "Apa maksud perkataanmu itu, dinda?" Banni menatap kakaknya. Seperti menyampaikan pesan yang selama ini ingin ia sampaikan. "Daeng, kalau daeng mencari laut, Banni mau mencari bintang. Di mana bintoeng untuk Banni, daeng?" Ammar memiringkan kepala, menggaruk rambutnya sendiri. Berpikir. Pertanyaan yang keluar dari mulut adik kecilnya itu bukan sembarang pertanyaan. Tak boleh ia salah menjawab. "Bintoeng ya. Kalau itu, cuma andikku saja yang tahu. Bintang itu ada di puncak, tapi akan selalu nampak dan membimbing mereka yang mengarungi laut." Banni meloncat seperti kegirangan! "Betul itu daeng!" Ammar terkejut. "Apanya yang betul, andikku?" "Aku juga mau ikut Daeng." *** Bintang berada di puncak. Tapi selalu mengiringi mereka yang mencari rezeki dari dasar laut. Kampung Ammatoa tak lagi sama kini. Menunggu dan memilih berputar-putar dalam tradisi kuat yang membenarkan janji para leluhur, justru pagar-pagar ditembus banyak orang dari luar. Tradisi lama dibuai oleh awak modernisasi. "Kami menyesuaikan saja, tapi tidak meninggalkan ajaran Ammatoa," kata Puang Labbo kepala suku sementara. Kamera membuatnya gugup, tembakaunya disimpan di dalam sarung. Istrinya, Asse tersenyum-senyum saja sambil mengembangkan pipinya hingga asap membumbung di dapur dekat ruang tamu depan. Tangannya berusaha merapatkan balutan sarung menutupi dada kurusnya. Bunyi-bunyian kabel dan derit roda kendaraan bergantian di bawah. Anjing-anjing merasa terusik, apatah lagi babi-babi yang lari terbirit. Sekumpulan muda belia mengejar mereka. Tak satupun lolos oleh ujung tombak bambu. Bahan makan malam telah dikumpulkan. Kampung meriah, tapi tak begitu hati Puang Labbo. Tubuhnya renta dan bicaranya tak lagi perkasa. Saat reporter menanyakan keluarganya, ia terdiam dan berjalan meninggalkan kerumunan. Ia masuk ke biliknya, meraba dinding papan yang dipenuhi ramat, sampai menemukan sebuah foto dan selembar surat. "Ini anak saya, dan ini adiknya. Mereka pergi meninggalkan kampung sebelas tahun lalu." Para reporter terdiam. Beberapa lalu mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak kenal perasaan. Asse menenangkan suaminya. Passapu kini lesap dari atas kepala. Ammar benar-benar pergi mencari lautnya. Tak banyak warga adat yang mengetahui kapan persisnya dan bagaimana ia melompati pagar Ammatoa demi sebuah keinginan yang semu. Mencari laut. Anehnya, Banni adiknya ikut dalam pengembaraan yang sama. Untuk beberapa tahun belakangan ini, para pemuda gusar. Tetua adat jauh dibuat gusar, karena generasi mudanya memberontak. Satu-dua bahkan sudah ikut jejak Ammar, keluar dari kampung tanpa dinyana. Tanjung Bira. Kapal Pinisi bersandar seperti mahligai yang menopang matahari. Sipakatau, tulisan di lambungnya. Saling Memanusiakan, itu artinya. Dicat putih bergaris merah, seperti membawa suara-suara Nusantara di atas karang karsa dan hijaunya tirta. Punggawa-punggawa pelayaran ini berteriak dan disambut kepatuhan yang luar biasa. Karung-karung beras diturunkan dari dek. Ikan-ikan segar melompat berusaha menyelamatkan diri namun sia-sia. Ratusan orang menyambutnya. Di bibir pantai itu, sebuah keluarga kecil menggendong bayi yang gemuk. Gelang karet melilit di pergelangan tangan kecilnya. Bertepuk-tepuk tangan mengikuti arahan sang ibu. Sementara sang bapak yang kulitnya legam, buru-buru menuju kapal untuk menyambut sang kapten. "Mariki' daeng," sambut pemuda itu. Kapten kapal mendekat dan langsung menggendong bayi itu tinggi-tinggi. "Kemanakanku. Mau jadi apa nanti ini?" Sang kapten begitu gembira. Hampir satu tahun ia tak menginjak daratan Sulawesi. Tapi kini hatinya nyaris paripurna. Adiknya, Banni sudah berkeluarga dan punya bayi lucu dan gemuk. Usaha tambak garam dan pembuatan kapal juga berjalan lancar di tangan suaminya yang bertanggung jawab. Pemuda legam itu sebetulnya anak Jawa, tapi rela meleburkan adat guna sang istri yang adalah pelarian Ammatoa. Ammar menceritakan perjalannya, termasuk ketika terkesima dengan seorang gadis Sunda, dan ketika nyaris ditangkap massa saat merapat di Surabaya, kampung asal adik iparnya. Sang Kakak kini duduk bersila. Menikmati kampalo dengan sambal petis yang menggores lidah. Makanan tradisional terbuat dari beras ketan dan dibungkus nyiur kelapa. Ombak terasa iri. Dalam penikmatannya yang tiada tara itu, sang kapten terdiam sejenak. "Aku ingin ke Ammatoa. Menjenguk Atta dan Ammak." Kapten itu menyebut kedua orang tuanya. Rupa-rupanya aroma sambal dan ikan asin membawa jiwanya merindukan rumah. Ia menangis terisak di rumah berdinding batu itu. Ia mendapatkan laut, sama seperti adiknya yang membawa bintang kecil yang gemuk. Ammar tak melupakan Ammatoa, dan akan kembali ke sana dengan sebuah penjelasan. Sebuah jawaban, mengapa ia mencari laut dengan melompati pagar hari itu. Jawaban yang telah ia kumpulkan selama belasan tahun. ===== passapu = topi khas Bugis-Makassar yang berupa lipatan kain berbentuk segitiga dan menutupi sebagian kepala. pui-pui = istilah tidak resmi untuk alat musik tiup dari bambu. Biasanya dipakai penggembala dan untuk kesenian Pakarena. Istilah ini belakangan mengalami banyak perubahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H