Bimbingan belajar atau akrab dikenal dengan bimbel, merupakan lembaga penyedia jasa pendidik untuk menyokong prestasi akademik para siswanya di sekolah formal. Bimbel timbul karena tuntutan sekolah kepada para siswanya untuk bisa menguasai dan mendapatkan nilai sempurna pada semua mata pelajaran agar ia bisa dianggap berhasil dalam belajar.
Selain itu, sekolah formal menjadikan hasil ujian sebagai parameter keberhasilan siswa tersebut. Menurut paparan Wamendik pada Konsep dan Implementasi Kurikulum 2013 (2014), konsep kurikulum 2013 menuntut para peserta didik untuk dapat mencari tahu dan mengembangkan sendiri informasi-informasi terkait pembelajaran yang diberikan oleh Bapak/Ibu guru dengan fasilitas yang ada. Siswa juga dituntut untuk belajar dari berbagai sumber secara mandiri. Padahal, tidak semua peserta didik memiliki privilege untuk memiliki fasilitas dan tidak semua peserta didik dapat melakukannya secara mandiri.
Sekolah formal cenderung berorientasi kepada nilai dan hasil dibanding mengetahui bagaimana usaha setiap siswa dalam proses meraih hasil tersebut, padahal setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda-beda.
Subjek matematika misalnya, bisa jadi seorang anak mendapat nilai sempurna karena sangat pandai dengan logika matematika dan dapat menyelesaikan sebuah soal logaritma hanya dengan sekali lihat. Bisa jadi pula, seorang anak dengan kemampuan logika matematika rata-rata hanya mendapatkan nilai yang mencapai KKM dengan belajar semalaman suntuk dengan waktu tidur dua jam saja. Guru tidak bisa langsung menentukan seorang siswa pandai atau kurang hanya dengan suatu hasil ujian pada satu subjek saja.
Guru yang acuh dengan bagaimana siswa berproses akan melahirkan budaya menyontek dan perlombaan memperebutkan nilai yang akhirnya melunturkan esensi pendidikan. Siswa pada akhirnya hanya peduli kepada berapa angka hasil akhir yang ia dapat dibanding sejauh mana ia paham dengan pelajaran yang diujikan.
Ujian yang dilakukan sebagai ajang evaluasi pun akan kehilangan esensinya. Sekolah formal juga seharusnya memberikan pengertian kepada peserta didik bahwa sekolah bukanlah ajang perlombaan, melainkan tempat belajar dan mencari ilmu. Tidak perlu takut untuk tidak bisa karena itulah alasan mereka harus sekolah. Untuk mengetahui dimana salah dan tidak bisanya, meskipun pada kenyataannya siswa harus takut bertanya karena hanya akan dihakimi.
Siswa yang tidak bisa menguasai semua subjek secara mandiri harus mencari alternatif lain untuk menyesuaikan tuntutan yang ada agar dapat mengejar ketertinggalannya dalam subjek yang tidak bisa ia kuasai. Hal itu mendasari betapa kini banyak berdiri lembaga-lembaga bimbingan belajar. Mentor bimbel condong memposisikan diri sebagai teman. Agar para peserta didik dapat belajar dan berdiskusi tanpa merasa terintimidasi dan tertekan seperti yang ia rasakan di sekolah formal.
Seperti namanya, bimbingan belajar cenderung “membimbing” peserta didiknya agar bisa menguasai subjek-subjek yang ingin mereka kuasai secara perlahan. Mindset peserta didik di dalam bimbel pun akan terbentuk secara alami untuk lebih terfokus pada proses bagaimana cara agar bisa menyelesaikan soal-soal dengan cara yang lebih mudah mereka pahami. Peserta didik juga dibentuk untuk berpikir cerdas tanpa perlu berorientasi kepada hasil yang akan ia dapat, melainkan menajamkan fokus pada materi yang ada di depan matanya sebaik mungkin.
Namun, sungguh ironi karena munculnya lembaga bimbingan belajar tersebut merupakan cerminan dari kegagalan sistem pendidikan dan ketidakpuasan siswa akan tenaga pendidik di sekolah formal yang jelas jelas mendapat gaji pokok dan tunjangan. Menjadi cerminan pula bahwa banyak guru yang berdiri di profesinya bukan dengan tujuan untuk mencerdaskan bangsa. Sementara itu, bimbel juga bukan hal yang mampu dijangkau oleh semua kalangan. Nilai untuk mencapai tolak ukur yang ada di sekolah kini semakin gila saja, rasanya semakin tak tergapai oleh siswa tanpa bimbel. Siswa dengan bimbelnya akan semakin memadatkan jadwal dan siswa dengan ekonomi kalangan bawah mau tidak mau akan tertinggal.
Pada akhirnya, para siswa harus tetap menyesuaikan diri di dalam tuntutan-tuntutan yang ada di dalam sistem pendidikan di Indonesia. Kembali mendatangi bimbel untuk tetap bertahan di dalam standar penilaian yang ada, meskipun harus sambil berperang dengan standar tidak masuk akal tersebut. Apa yang harus dipahami oleh para siswa adalah, hasil akhir bukan penentu sebenarnya mereka pandai atau tidak, kecuali hanya validasi dari orang lain semata. Melainkan kemampuan yang mereka dapatkan ketika berproses adalah investasi diri yang tidak akan pernah sia-sia.
Penulis : Evelyn Purwaningsih