oleh: Evelin Viviani Ekaputri Kawito, Mahasiswa Prodi Komunikasi PJJ Universitas Siber Asia (pemenuhan UAS Literasi Media Digital - NIM: 200501072149)
Kampanye pemilihan presiden (pilpres) di era digital saat ini tak lepas dari peran media sosial. Platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok menjadi medan pertempuran baru untuk meraih suara rakyat. Di satu sisi, media sosial membuka peluang baru untuk menjangkau pemilih dan menyebarkan informasi secara masif. Di sisi lain, muncul pula berbagai tantangan terkait disinformasi, hoaks, dan ujaran kebencian. Literasi media digital menjadi kunci untuk memahami dan menghadapi fenomena ini.
Facebook menjadi platform media sosial yang paling dominan dalam kampanye pilpres. Platform ini digunakan untuk menyebarkan berbagai konten, mulai dari informasi tentang visi dan misi kandidat, iklan politik berbayar, hingga serangan terhadap kandidat lawan. Tim kampanye dan relawan kandidat memanfaatkan Facebook untuk menyebarkan informasi tentang visi, misi, dan program kerja kandidat. Iklan politik berbayar menjadi salah satu cara untuk menjangkau pemilih yang lebih luas.
Namun, Facebook juga menjadi wadah penyebaran konten negatif dan hoaks tentang kandidat lawan untuk menjatuhkan elektabilitas mereka. Kelompok tertentu bahkan memanfaatkan platform ini untuk menyebarkan propaganda dan ujaran kebencian yang memicu polarisasi dan perpecahan. Hal ini menunjukkan bahwa Facebook memiliki peran ganda dalam kampanye pilpres, yaitu sebagai platform informasi dan disinformasi.
Kampanye pilpres melalui media sosial memiliki dua sisi mata uang. Di satu sisi, media sosial menawarkan peluang baru untuk menjangkau pemilih dengan cara yang lebih murah dan efisien dibandingkan metode tradisional. Kampanye di media sosial dapat menjangkau pemilih muda yang aktif di platform digital dan meningkatkan partisipasi politik dengan mendorong diskusi dan dialog publik.
Namun, di sisi lain, media sosial juga memiliki potensi untuk disalahgunakan. Platform ini dapat menjadi wadah yang mudah untuk menyebarkan disinformasi dan hoaks, memicu ujaran kebencian dan polarisasi politik, serta rentan terhadap manipulasi dan kecurangan, seperti bot dan akun palsu. Oleh karena itu, penting untuk menggunakan media sosial secara bertanggung jawab dan kritis dalam konteks kampanye pilpres.
Di tengah maraknya informasi yang tersebar, literasi media digital menjadi kunci untuk membantu masyarakat agar lebih kritis. Masyarakat perlu dibekali dengan kemampuan untuk memverifikasi informasi, mencari sumber terpercaya, berpikir kritis, dan menjadi netizen yang bertanggung jawab.
Namun, kampanye pilpres di media sosial juga menghadirkan dua tantangan etika: penyebaran disinformasi dan hoaks, serta ujaran kebencian dan polarisasi. Kampanye hitam dan hoaks dapat merusak demokrasi dan kepercayaan publik terhadap proses pemilu, sedangkan ujaran kebencian dan polarisasi dapat menciptakan suasana yang tidak kondusif dan membahayakan persatuan bangsa.
Untungnya, literasi media digital dapat berperan dalam mengatasi atau meminimalkan tantangan tersebut. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya disinformasi dan hoaks, memberikan edukasi tentang bagaimana mengecek kebenaran informasi, dan mendorong penggunaan media sosial yang bertanggung jawab dan bermartabat, masyarakat dapat menjadi pemilih yang cerdas dan kritis dalam menghadapi kampanye pilpres di media sosial.
Kampanye pilpres di media sosial menghadirkan peluang dan tantangan bagi demokrasi di Indonesia. Literasi media digital menjadi kunci untuk membantu masyarakat memahami dan menghadapi fenomena ini. Dengan literasi media digital yang baik, masyarakat dapat menjadi pemilih yang cerdas dan kritis, serta membantu menciptakan suasana pemilu yang kondusif dan damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H