Aku tak pernah meminta dilahirkan dengan status sebagai anak dari seorang bupati yang menjabat di wilayah mandala Pajang. Andaikan aku bisa memilih, mungkin aku akan memilih untuk dilahirkan sebagai kawula saja. Menjadi anak bupati tidak selamanya menyenangkan, aku berani membuktikannya!
"Gayatri, tolong tumbuk padinya," titah ibunda kepadaku. Dengan sigap aku pun berjalan mendekati sebuah lesung yang berada tak jauh dariku dan menumbuknya. Cuaca pagi ini cukup cerah walaupun matahari belum menampakkan diri seutuhnya.
Pagi ini ibunda mengajakku pergi ke sawah untuk melihat keadaan masyarakat. Beberapa paruh baya yang juga tengah menumbuk padi di sebelahku sibuk bergosip ria, membicarakan berita terbaru mengenai batalnya pernikahan sang Maharaja Majapahit dengan Putri Pajajaran.
"Sudah dengar tentang pernikahan Baginda Rajasanagara? Katanya pernikahan mereka dibatalkan karena peristiwa di Bubat," kata salah satu paruh baya tersebut.
"Iya, padahal pesta pernikahan mereka digadang-gadang akan menjadi pesta terbesar dalam sejarah Majapahit," sahut yang lainnya.
Seorang paruh baya yang lain ikut berceletuk, "Kudengar dari anakku, Baginda Rajasanagara bahkan sudah memanggil beberapa pujangga untuk mengisahkan pesta pernikahannya. Sayang sekali peristiwa di Bubat terjadi. Mempelai perempuannya pun memilih bela pati."
Kenapa para paruh baya ini berani sekali membicarakan Maharaja Hayam Wuruk secara terang-terangan di muka umum? Bukankah itu tidak sopan? Bagaimana jika orang lain mendengarnya? Tentu hal itu akan menjadi masalah besar. Aku menghela napas pelan sembari melanjutkan aktivitas menumbuk padi. Perlahan matahari mulai menampakkan dirinya tanpa malu, langit biru pagi ini terlihat sepi tanpa hiasan awan. Ibunda menyuruhku untuk pulang lebih dahulu ke rumah karena katanya beliau masih harus mengurus sesuatu di sawah.
Di sinilah aku sekarang, berjongkok di pekarangan rumah seraya memainkan tanah. Tak ada orang di rumah selain aku. Ibunda dan para dayang masih belum pulang dari sawah, sedangkan ayahanda mendapat panggilan dari sang Bhre Pajang untuk melakukan rapat agung di pendopo bersama para bupati lainnya.
"Demi Sang Hyang Widhi, aku tak pernah membayangkan seorang anak bupati bermain tanah di pekarangan rumahnya." Suara bariton itu terdengar dari arah pagar rumahku yang berbahan bambu.
Reflek, aku menoleh ke arahnya dan mendapati laki-laki dengan senyum manis tengah menatapku. "Giandra? Kau sudah kembali dari Trowulan?"
Laki-laki itu mengangguk, kemudian aku pun menghampirinya dan membukakan pagar untuknya. Giandra, ia adalah sahabatku sekaligus laki-laki yang aku sukai. Kami bersahabat sejak kecil, tetapi akhir-akhir ini kami jarang berjumpa karena ia disibukkan dengan pekerjaannya sebagai seorang citraleka atau pembuat prasasti.