Beberapa waktu lalu saya mengikuti webinar bertajuk "Healing your Inner Child". Dari sana saya memperoleh pengetahuan tentang reparenting atau pengasuhan kembali untuk memulihkan luka batin masa kecil. Saya pun mencoba mempraktikkannya pada diri sendiri.
Luka batin masa kecil juga dikenal dengan sebutan inner child yang terluka. Belakangan ini kata inner child makin popular di tengah derasnya arus informasi yang mengampanyekan kesadaran akan kesehatan mental. Seperti halnya healing yang makin akrab di telinga, kata inner child juga mulai tidak asing bagi indra pendengaran.
Seorang psikolog yang menjadi narasumber dalam webinar tersebut memaparkan bahwa inner child adalah sisi anak-anak diri yang merupakan bagian dari alam bawah sadar individu yang dibentuk oleh pengasuhan, pengalaman, dan peristiwa di usia anak-anak yang memengaruhi pola pikir, perilaku, dan emosi individu sampai dengan berusia dewasa.
Inner child bukanlah kepribadian kekanak-kanakan dan bukan pula sisi lain atau alter ego di dalam diri manusia, serta tidak selalu bersifat negatif atau meninggalkan efek traumatis dan luka batin. Sisi positif jiwa anak-anak seperti bersemangat tinggi, berkemauan keras, memiliki rasa ingin tahu yang besar, imajinatif, kreatif, dan terbuka untuk belajar hal-hal baru juga merupakan bagian dari inner child yang sebaiknya terus dihidupkan.
Dalam masa perkembangan remaja menuju dewasa, tak sedikit orang yang melepaskan sisi positif jiwa anak-anak yang ada dalam diri mereka. Saya jadi teringat masa-masa remaja ketika saya begitu berupaya dipandang sebagai manusia dewasa. Ini adalah masa di mana saya terus menekan sisi anak-anak dalam diri agar tidak dikatai "kau masih anak kecil".
Berbeda dengan sisi positif jiwa anak-anak yang mesti dihidupkan, inner child negatif harus ditangani dengan baik agar tidak menyebarkan energi negatifnya. Sebab, jiwa anak-anak yang terluka ini kerap membawa dampak yang kurang menyenangkan seperti mengaktifkan sisi diri yang temperamental, merasa tidak cukup layak, penakut, cemas, overthinking, sulit percaya pada orang lain, dingin, insecure, dan takut akan penolakan.
Seperti halnya anak-anak yang selalu menuntut perhatian, jiwa anak-anak di dalam diri kita juga tidak suka jika terus diabaikan. Mengabaikan inner child negatif tidak serta merta membuatnya berhenti mengambil alih kehidupan kita sebagai orang dewasa. Ia akan memengaruhi banyak hal utamanya kesehatan emosional, mental, dan kehidupan kita sebagai makhluk sosial. Nah! Di sinilah dibutuhkan reparenting atau pengasuhan kembali untuk memulihkan luka batin masa kecil.
Dalam reparenting, seorang dewasa yang menyadari di dalam dirinya ada inner child yang terluka dapat memutuskan dengan sadar dan bertanggung jawab untuk meluangkan waktu bersilaturahmi ke masa lalu dan mengasuh diri sendiri dengan tujuan memulihkan luka dan trauma yang dimiliki.
Dalam prosesnya, hal pertama yang harus kita punya adalah kesadaran dan pengetahuan, sebab kita akan menjadi pengasuh (orang tua) untuk diri kita sendiri (yang masih anak-anak) yang sudah terlanjur terluka. Jika mengasuh anak yang baik-baik saja sudah susah, bagaimana dengan yang tengah terluka? Tentunya kita harus lebih berhati-hati, bukan?
Pemulihan diri dapat dilakukan dengan Acceptance and Commitment Therapy (ACT) yang diartikan sebagai terapi penerimaan dan komitmen. Untuk mendukung terapi ini, dokter sekaligus penulis Russ Harris memperkenalkan teknik NAME, yang merupakan singkatan dari Notice, Acknowledge, Make room, dan Expand awareness.