Sepucuk surat tiba-tiba muncul di antara rimbunnya bunga asoka berwarna merah yang mekar di halaman rumahku. Tiga kata tertulis di sampulnya. Untuk Eva. Bacalah.
Matahari khas pesisir Teluk Tomini sedang ganas-ganasnya. Setelah olahraga biru pembagian dari sekolah yang kukenakan sejak tadi telah basah oleh keringat. Bersaing dengan pipiku yang dihujani air mata. Ini adalah hari terburuk. Aku ingin menghilang dari dunia.
Surat itu berhasil menyita perhatianku. Siapa pun pengirimnya, dia adalah manusia hebat yang tahu perihal pentingnya hadir di waktu yang tepat. Aku melihat sekeliling lalu mulai membacanya. Aku tak ingin orang lain tau perihal surat ini. Suara riuh dari dalam rumah tak lagi mengganggu telingaku. Aku telah tenggelam bersama surat pertama dalam hidupku.
Untuk Eva
Di salah satu hari Sabtu, di tahun 2001
Hai, apa kabar? Kau pasti kaget menemukan surat kecil ini di antara rimbunnya bunga asoka.
Eva, maaf. Hari ini aku tak bisa hadir di sana memelukmu. Juga tidak bertanya tentang apa yang kau rasakan. Tidak pula mendengarkan ceritamu—barangkali jika kau ingin bercerita. Atau boleh jadi kau ingin mendengarku bercerita. Atau kita hanya diam. Aku turut berjongkok di sampingmu. Sekadar ada di sana. Menemanimu. Setidaknya kau tidak merasa sendiri. Sendiri. Rasa yang terus kau rawat hingga lama sekali.
Untuk itu, di tempatku sekarang aku menebusnya dengan meluangkan banyak waktu untuk bermain dengan anak-anak. Mengajak mereka berbicara saat kudapati ada di antara mereka yang termenung sendiri. Aku tidak mau ada lagi anak-anak seperti kamu yang merasa sendiri di dunia ini. Anak-anak harus berkawan. Harus bahagia.
Beberapa saat yang lalu, waktu kau dapati rumah ramai dan ibumu menikah lagi tanpa persetujuanmu atau hanya sekadar pemberitahuan—waktu kau bilang semuanya berkompromi membohongimu, dan waktu kau simpulkan orang dewasa tidak bisa dipercaya, sesungguhnya mereka punya alasan baik yang menurut mereka anak umur sembilan tahun belum bisa mencernanya, apalagi menerimanya.
Eva, tak apa apa jika sekarang kau masuk ke rumah lalu menangis, marah, berteriak, bahkan memaki. Itu wajar saja. Semua orang akan memaklumi, sebab kau masih anak-anak. Meski tak ada salahnya juga ketika kau memutuskan untuk berdiam seperti pilihanmu saat ini.