Lihat ke Halaman Asli

Mengapung Antara Pro dan Kontra BLSM

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1371920045550468467

[caption id="attachment_269814" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi BLSM/Admin (nasional.kontan.co.id)"][/caption]

Dengan diputuskannya kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Senin lalu, akhirnya pemerintah telah menetapkan harga pasti BBM malam tadi. Terhitung mulai pukul 00.00 dini hari tadi, harga BBM telah melonjak naik, yaitu Premium menjadi Rp 6.500,- dan Solar menjadi Rp 5.500,-. Hal ini seakan menjadi pil pahit bagi rakyat Indonesia, khususnya kaum menengah ke bawah. Sikap tarik-ulur pemerintah untuk memutuskan kenaikan BBM disinyalir akibat perhitungan terhadap kompensasi bagi rakyat miskin yang belum matang. Hal ini lah yang menjadi alasan mengapa pemerintah dihujani protes dan demosntrasi beberapa hari belakangan ini.

Saat ini, pemerintah seolah telah mantap untuk menetapkan kenaikan BBM. Pemerintah pun telah menyiapkan kompensasi bagi rakyat miskin. Salah satunya adalah Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).  Bahkan di sebagian daerah, BLSM pun telah mulai didistribusikan melalui kantor pos terdekat. Namun, apakah BLSM sejumlah Rp 150.000,- per bulan dalam kurung waktu 4 bulan ini telah menjadi "sogokan" ideal bagi rakyat miskin?

Pada dasarnya, BLSM hanyalah diberikan sebagai "bantuan" bagi kebutuhan, bukan "pemenuhan" bagi seluruh kebutuhan rakyat. Ini yang perlu dicatat baik-baik bagi sebagian orang dan mungkin mahasiswa yang membakar ban di depan gedung DPR, menuntut BLSM yang kurang dari cukup. Saya berdiri di sini bukan sebagai pro pemerintah, tapi hanya ingin membuka mindset orang-orang.

Ketika ada rakyat miskin ditanya, "Apakah cukup uang Rp 300.000,- Rp 150.000,- untuk sebulan?" Dengan berkobar-kobar mereka pasti menjawab tidak cukup. Tapi, yang perlu digaris bawahi di sini adalah, BLSM hanya sekedar bantuan. Menurut saya, besar kecilnya itu tidak dapat diukur dengan kebutuhan masing-masing keluarga karena kebutuhan setiap orang itu berbeda. Ketika kita bertanya kepada orang yang memiliki 8 anak, jelas uang Rp 300.000,- Rp 150.000,- setiap bulannya tidak banyak berdampak bagi pemenuhan keluarganya. Tapi mungkin ketika kita bertanya kepada keluarga yang hanya memiliki 1 anak, mungkin Rp 300.000,- Rp 150.000,- bisa cukup untuk membiayai uang sekolah anaknya untuk sebulan. Akan tetapi, dengan ada pemikiran bahwa pemerintah bukanlah tempat rakyat miskin untuk menggantungkan seluruh "nasib" hidupnya, bukan berarti bahwa pemerintah pun lepas tangan untuk memfasilitasi rakyat miskin dengan subsidi-subsidi lainnya.

Seperti yang kita ketahui, harga BBM dan harga barang lain seperti sembako berbanding lurus. Ketika harga BBM melonjak lain, harga sembako pun ikut naik. Tidak hanya itu, harga-harga lainnya pun akan turut melonjak lain, seperti jasa transportasi, sekolah dan kesehatan. Ini jelas mengkhawatirkan warga, bukan hanya 15,5 juta keluarga miskin yang menerima BLSM, tetapi juga jutaan keluarga kelas menengah ke bawah lainnya yang tidak ter-cover oleh BLSM.

Penulis rasa, di sini lah celah rakyat untuk mencela pemerintah. Jika pemerintah berdalih bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran karena 92% dinikmati oleh kaum menengah ke atas, maka pemerintah bisa mencari "jalan" lain untuk menyalurkan subsidinya. Misalnya menyubsidi uang sekolah dengan menjalankan Bantuan Operasional Sekolah dengan pengawasan lebih ketat lagi. Perketat jalur distribusinya, jangan hanya manis di depan tetapi pahit di tengah sampai akhir. Maksudnya, subsidi yang diberikan harus sesuai dengan janjinya. Jika telah dijanjikan bahwa biaya sekolah akan di-gratis-kan mulai dari biaya penerimaan masuk tahun ajaran baru sampai 1 tahun mendatang, maka pemerintah harus merealisasikannya demikian. Jangan sampai ada kebocoran di tengah jalan. Toh subsidi ini tidak perlu diadakan di seluruh sekolah, cukup di sekolah-sekolah Negeri karena itu sudah kewajiban pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan warganegaranya. Kenapa? Karena pemerintah lah yang mewajibkan rakyatnya untuk wajib sekolah 9 tahun, jadi pemerintah harus "beraksi" untuk merealisasikan harapannya itu.

Selain itu, pemerintah harus memikirkan pula efek domino dari kenaikan BBM. Memang, yang paling mendominasi dampak kenaikan BBM adalah protes dan demontrasi yang dilakukan oleh warga di Pulau Jawa. Akan tetapi, akan lebih bijaksana apabila pemerintah juga memikirkan nasib rakyat miskin yang tinggal di luar Pulau Jawa, seperti Kalimantan dan Papua. Ironis sekali, harga BBM di Kalimantan telah mencapai Rp 10.000,-. Padahal, Kalimantan adalah salah satu pulau penghasil minyak terbesar di Indonesia. Demikian pula Papua. Harga BBM di Papua telah mencapai Rp 25.000,- sebelum keputusan kenaikan BBM malam tadi. Terbayang kan, berapa harga BBM kira-kira di kedua pulau penghasil minyak terbesar di Indonesia? Pertanyaannya adalah, apakah rakyat miskin di daerah yang notabennya tidak menggunakan banyak BBM dalam kehidupan sehari-harinya, patut pula merasakan pahitnya kenaikan BBM yang berdampak pada kenaikan sembako? Dan apakah mereka turut menerima BLSM yang serupa dengan rakyat miskin di Pulau Jawa?

Jadi, penulis rasa pemberian BLSM ini memang masih mengapung, antara harus dilakukan, atau tidak. Jika dilakukan dalam jangka waktu yang lama, jelas akan menyulitkan pemerintah yang notabennya belum "jago" dalam mengatur anggaran negaranya. Selain itu BLSM justru bisa "memanjakan" rakyatnya, ini jelas sangat tidak mendidik rakyatanya untuk mau bekerja lebih giat lagi demi mendapatkan penghidupan yang lebih layak secara mandiri, tanpa bergantung kepada pemerintah. Akan tetapi, jika rakyat miskin di Indonesia dibiarkan hidup tanpa BLSM, mau ada berapa banyak gelandangan yang menumpuk di jembatan-jembatan layang ibu kota? Akan ada berapa kawasan kumuh yang akan mengotori sungai-sungai di Indonesia?

Menurut penulis, pemerintah harus membuat konsep matang lainnya selain BLSM, agar tidak terus mengapung diantara pro dan kontra. Mungkin bisa dengan menyalurkan dana BOS (atau yang sekarang dikenal dengan Bantuan Siswa Miskin) dengan baik dan benar, membuka lapangan pekerjaan baru bagi para pengangguran seperti mengembangkan unit Usaha Kecil Menengah (UKM), atau dengan memberikan fasilitas transportasi umum yang "ramah kantong" supaya dapat turut dirasakan oleh semua kalangan, bukan hanya rayat miskin tetapi juga bagi kaum menengah. Memang, tidak mungkin beratus-ratus juta jiwa di Indonesia bisa 100% bersuara bulat terhadap keputusan pemerintah. Tetapi, jika keputusan yang dirasa pemerintah sebagai cara yang terbaik untuk mengatur negaranya diikuti dengan implementasi yang baik, bukankah itu akan menghasilkan keuntungan bagi masyarakat dengan sendirinya?

*I got some words corrected. Feel free to correct me :)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline