Oleh: Eva Riana Rusdi
(Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia)
Dalam dunia historiografi, prinsip "No Document, No History" telah lama menjadi pondasi dalam metodologi penelitian sejarah. Dikemukakan pertama kali oleh sejarawan Prancis, Charles-Victor Langlois dan Charles Seignobos pada akhir abad ke-19, prinsip ini menekankan pentingnya dokumen tertulis sebagai sumber utama dalam penulisan sejarah. Namun, di era modern ini, dengan berkembangnya berbagai metode penelitian dan sumber-sumber non-konvensional, apakah prinsip ini masih relevan?
Penulisan Sejarah dalam Konteks Historis
Prinsip "No Document, No History" dalam konteks historis muncul pada masa positivisme dalam ilmu sejarah. Pada masa itu, para sejarawan berusaha untuk menjadikan sejarah sebagai disiplin ilmu yang objektif dan ilmiah, setara dengan ilmu-ilmu alam. Dokumen tertulis dianggap sebagai bukti yang paling dapat diandalkan dan diverifikasi (Evans, 1997).
Leopold von Ranke, sejarawan Jerman abad ke-19, dikenal sebagai bapak historiografi modern. Meskipun ia tidak secara eksplisit menggunakan istilah "No Document, No History", prinsip ini sangat erat dengan metodologinya.
Ranke menekankan pentingnya dokumen primer dalam penelitian sejarah. Ia berpendapat bahwa sejarawan harus mendasarkan karya mereka pada bukti dokumenter yang dapat diverifikasi, terutama arsip resmi dan catatan pemerintah. Bagi Ranke, tujuan sejarah adalah menunjukkan "wie es eigentlich gewesen" (bagaimana sebenarnya hal itu terjadi).
Pendekatan ini memprioritaskan objektivitas dan akurasi dalam penulisan sejarah. Ranke percaya bahwa dengan menganalisis dokumen-dokumen asli secara kritis, sejarawan dapat merekonstruksi masa lalu dengan setepat mungkin, tanpa bias atau spekulasi. Metode Ranke ini menjadi dasar bagi penelitian sejarah modern dan memperkuat gagasan bahwa tanpa dokumen, tidak ada sejarah yang dapat ditulis secara akurat dan objektif.
Meskipun prinsip ini memberikan fondasi yang kuat untuk metodologi sejarah, kritik terhadapnya mulai bermunculan pada abad ke-20. E.H. Carr, dalam bukunya "What is History?" (1961), mengkritik pendekatan yang terlalu bergantung pada dokumen tertulis. Ia berpendapat bahwa sejarah seharusnya tidak hanya tentang "fakta-fakta", tetapi juga interpretasi dan analisis terhadap fakta-fakta tersebut.
Sejarawan seperti Marc Bloch dan Lucien Febvre, pendiri mazhab Annales, juga mengadvokasi pendekatan yang lebih luas dalam penelitian sejarah. Mereka menekankan pentingnya menggunakan berbagai jenis sumber, termasuk bukti arkeologis, tradisi lisan, dan analisis interdisipliner (Burke, 1990).
Perkembangan Sumber Sejarah dan Relevansi di Era Modern