Mengusung tema "Menyikapi Isu Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan (Bias Gender) di Era Society 5.0", Mahasiswa Kelompok 121 KKN Reguler Dari Rumah Angkatan 77 UIN Walisongo Semarang menggelar dialog interaktif secara virtual via Zoom, Sabtu (13/11/2021).
Fachry Hakim M.Pd, selaku Dosen Pembimbing Lapangan (DPL), mengatakan bahwa salah satu target Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu menyikapi isu tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan atau bias gender, sebagaimana target yang sudah dirancang oleh dunia atau yang dikenal dengan SDGs yakni target perkembangan berkelanjutan.
Terdapat 17 target SDGs dengan salah satunya adalah kesetaraan gender. Kesetaraan gender masuk pada taget ke lima dan dianggap penting karena termasuk ke dalam lima besar target berkelanjutan.
"Banyak sekali langkah-langkah yang dapat dilaksanakan, di antaranya untuk menyikapi isu kesetaraan gender, yakni dengan mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan, menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan baik di ruang publik maupun pribadi, serta penghapusan perkawinan anak usia ini maupun perkawinan paksa. Bahkan terdapat isu terbaru yakni mengenai Permenikbudristek No. 30 tahun 2021. Terdapat dua kubu yang saling pro dan kontra mengenai aturan yang dikeluarkan ini," lanjut Fachri
Menghadirkan Suhaendi dan Nisye Juwita, S. Ag. sebagai narasumber, tujuan diadakannya webinar ini adalah untuk menumbuhkan rasa kepedulian mahasiswa terhaap isu bias gender yang terjadi.
"Mengenai kesetaraan gender ini tidak dapat terlaksana apabila hanya diperjuangkan oleh salah satu gender," ujar Nisye Juwita.
Oleh karena itu, diperlukan adanya sikap saling support antar gender. Berbicara tentang gender bukan mengenai jenis kelamin secara biologis, namun berbicara mengenai jenis kelamin secara sosial. Tidak ada hubungannya antara pengalaman biologis laki-laki maupun perempuan.
Karena gender ini merupakn konstruksi sosial yang melekat pada masyarakat, yang mana gender ini mempunyai corak tersendiri antar kubu laki-laki maupun perempuan sehingga memang secara historis, permasalahan gender ini selalu dibenturkan dengan adat istiadat atau norma yang telah berlaku di masyarakat," lanjut Nisye.
Sikap gayung bersambut pada masyarakat juga diperlukan oleh para aktivitas gender.
Pemateri kedua, Suhaendi, menuturkan bahwa dalam konteks gender ini tidak bisa jika hanya salah satu pihak semisal perempuan saja, tetapi juga peran dari laki-laki diharuskan memiliki pemahaman.
"Jadi alasan tema ini penting dan menarik untuk terus dibahas adalah supaya orang tahu dan paham, karena masih banyak mispersepsi tentang gender ini sendiri dari berbagai perspektif. Misalnya ketika gender berhadapan dengan konteks agama ada yang mengatakan bahwa hal ini menjai sumber diskrimnasi terhadap tafsir-tafsir keagamaan itu juga menjadi salah satu problematika," lanjutnya.
Terhadap konteks sosial juga terdapat pengkonstruksian, sehingga diperlukan sosialisasi kepada masyarakat agar memiliki perspektif yang baru bahwa di dunia ini tidak hanya berfokus terhadap laki-laki maupun konsep patriarki sehingga memunculkan perspektif adanya peran perempuan.
"Pembangunan atau konstruksi gender serta pembagian peran juga harus dilihat dalam perspektif secara menyeluruh," pungkas Suhaendi.