Setelah 79 tahun lamanya kita merdeka , dan kita kini punya tantangan yang berbeda dengan pada saat awal kita merdeka. Jika dahulu kita secara fisik maupun diplomasi memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, kini itu bergeser ke tantangan lainnya.
Salah satu tantangan yang harus kita hadapi kini adalah penolakan atas keberagaman yang kita punya. Padahal keberagaman itulah yang membuat kita bersatu dan berjuang sebagai bangsa. Kita akan selalu ingat pahlawan tanah air dari Aceh sampai Papua. Saat itu kolonial Belanda menekan kita tidak hanya dengan kebijakan yang kelewat batas tapi juga menghancurkan warga lokal untuk kehidupan mereka sendiri.
Yang paling terasa adalah kerja paksa dan tanam paksa. Kerja paksa biasanya warga diharuskan untuk bekerja untuk proyek kolonial seperti jalur kereta api atau jalan darat yang membutuhkan banyak tenaga. Warga biasanya diupah sedikit bahkan ada yang tidak duiupah sama sekali. Beberapa kasus menunjukkan bahwa penguasa setempat (misal bupati atau wedana) mengambil upah mereka untuk kepentingan pribadi.
Begitu juga kebijakan tanam paksa yang sangat merugikan warga lokal. Mereka yang biasa bertanam padi atau jagung dipaksa untuk bertanam kopi atau cengkeh yang masa tanamnya bertahun-tahun sebelum bisa dipanen. Akibatnya petani kesulitan mencukupi kebutuhan keluarganya selama tanaman belum bisa dipanen. Ketika masa panen tiba, petani masih harus kecewa karena kadang kolonial tidak membayar layak tanaman mereka.
Begitu pilunya masa kolonial di seluruh nusantara, karena itu warga berkeinginan untuk merdeka, membentuk sebuah negara yang berdaulat. Sehingga mereka berkoordinasi secara natural dan terpilih dua wakil Indonesia yang dinilai bisa membawa Indonesia menuju kemerdekaan yaitu Soekarno Hatta.
Dua pendiri bangsa ini mampu merangkum keinginan warga Nusantara untuk bersatu termasuk bisa menjembatani keberagaman etnis, keyakinan, warna kulit hingga bahasa. Saat menyatakan kemerdekaan semua warga merasa satu untuk menjadi negara berdaulat.
Komitmen keberagaman inilah yang harus terus diartikulasikan. Para pemimpin bangsa ini dengan gaya masing-masing mengelola perbedaan itu dan tidak melenyapkannnya atau membuatnya menjadi satu jenis. Perbedaan memang tidak semestinya dimusnahkan namun harus dikelola sehingga menghasilkan konsensus yang progresif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H