Janji berkampanye santun dan bebas dari ujaran kebencian, nampaknya hanya sebatas janji. Partai politik nyatanya tak mampu mengontrol dan mengarahkan pendukungnya, untuk tidak menebar kebencian. Pasangan calon juga terkesan membiarkan praktek saling menjelekkan antar timses, demi menaikkan elektabilitas.
Dan ironisnya, budaya saling menjelekkan, menebar kebencian dan negative campaign, tidak lagi dilakukan oleh timses, namun sudah dilakukan secara sadar dan mandiri, oleh masyarakat. Alasannya sederhana. Tak mau paslon yang didukungnya kalah dalam perebutan kursi kekuasaan di Indonesia.
Tak dipungkiri, perkembangan teknologi telah mempengaruhi budaya seseorang untuk mengakses informasi. Pola penyebaran informasi pun juga sudah semakin canggih.
Hanya dengan menggunakan smartphone, informasi yang kita inginkan bisa seketika tersebar ke seluruh penjuru negeri dalam waktu yang sangat singkat. Hanya dengan smartphone, kita juga bisa mencari informasi dan ilmu pengetahuan apapun, dalam waktu yang relative singkat.
Sayangnya, berbagai kemudahan itu telah disalahgunakan oleh sebagian orang untuk menebar bibit kebencian dan provokasi.
Berbagai kondisi selalu dimanfaatkan untuk melakukan provokasi. Dulu ketika pilkada DKI Jakarta, provokasi bernuansa SARA seringkali kita temukan di media sosial. Jauh sebelum itu, provokasi untuk berangkat jihad ke Suriah bergabung dengan kelompok ISIS, juga sempat muncul dan membuat sebagian anak muda Indonesia berangkat ke Suriah.
Provokasi untuk melakukan tindakan tindakan intoleran, persekusi, hingga tindakan teror, juga sempat menghiasi media sosial. Dan terbukti, hampir sebagian besar pelaku terorisme di Indonesia akhir-akhir ini, mengenal radikalisme berasal dari internet dan media sosial.
Media sosial sejatinya bisa digunakan untuk keperluan yang lebih baik, dibandingkan hanya sebatas menebar kebencian dan provokasi. Begitu juga dalam konteks tahun politik seperti sekarang ini. Negative campaign sebenarnya sah-sah saja dilakukan sepanjang disertai dengan data dan fakta.
Namun terkadang negative campaign yang terjadi akhir-akhir ini, sangat jauh dari data dan fakta. Lebih kuat unsur subyektivitas dari pada obyektivitasnya. Lebih kuat unsur untuk menjatuhkan elektabilitas, dari pada memberi informasi yang mendidik bagi masyarakat.
Kampanye sejatinya bisa lebih digunakan untuk beraturung ditingkat ide dan gagasan. Seandainya terpilih menjadi wakil rakyat, atau seandainya terpilih menjadi presiden dan wakil presiden, apa yang akan kalian lakukan untuk Indonesia? Pertanyaan semacam ini harus dijawab oleh elit politik dan timsesnya.
Sudahlah tak perlu lagi menebar kebencian demi kursi kekuasaan. Masyarakat yang pelan-pelan mulai cerdas, sudah mengerti mana bualan mana gagasan. Untuk itulah, mari kita sudah semua praktek provokasi yang jelas tidak ada manfaatnya buat masyarakat.