Lihat ke Halaman Asli

Pelajaran Hidup dari Ayahku

Diperbarui: 20 November 2020   17:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku merupakan seorang yang merasa sangat senang dengan kehidupan saya. Orang tua yang perhatian kepada aku dan keduanya merupakan pengusaha yang sukses. Disekolahkan di sekolah swasta ternama dan memiliki banyak teman. Apa yang dapat aku katakan? Benar bahwa uang itu membawa banyak pertemanan. Dan tentunya teman saya tidak sembarangan. Semuanya anak pejabat dan pemilik usaha juga. Aku senang dengan gaya hidupku, apalagi yang kurang dari aku?

Tetapi satu kejadian telah mengubah hidupku selamanya.

Pada suatu hari, aku berjalan di kota bersama ayahku. Kita sedang berencana untuk berbelanja dan makan siang di Blok M. Seperti biasanya, banyak sekali orang. Berkumpul dan berdekatan dengan orang yang kotor selalu membuat saya geli. Tapi hari ini terasa berbeda. Kita melewati jalan yang tidak biasanya kita ambil. Dan justru menjauhi restoran yang biasanya kita datangi.

                "Hari ini, ayah ingin kamu menemani ayah melakukan sesuatu," kata ayahku.

                "Baiklah ayah," kataku dengan penuh heran.

Kemudian kita masuk ke bagian di mana banyak pedagang pinggir jalan. Suasanya ramai sekali. Pedagang yang berteriak memanggil pelanggan sambil berkeringat langsung terlihat di pandangan saya. Matahari yang terik dan udara yang kering tidak membuat keadaan semakin baik. Aku membencinya. Yang terbesit di pikiran saya adalah untuk pergi secepatnya.

                Aku mengeluh, "Ayah, mengapa kita kesini. Ayo kita pergi saja!"

                "Sudahlah ikuti saja ayah," jawab ayahku. Itu tidak memberi jawaban bagiku.

Tiba-tiba ayah berhenti di salah satu pedagang yang duduk di trotoar. Pedagang ini menjual buah-buahan. Pedagang ini langsung berbicara kepada kita.

"Silakan Pak dibeli. Semuanya dijamin segar," katanya.
"Ah mana mungkin buah di pinggiran begini segar," aku berbicara pada diri sendiri.

"Tidak, Pak terima kasih. Saya di sini bukan ingin membeli. Saya ingin berbincang dengan Bapak," jawab ayahku.

"Oh," dengan mukanya yang kecewa, "ada apa pak?"

Aku semakin merasa jengkel. "Aku sudah diajak ke tempat seperti ini dan ayah hanya ingin berbicara dengan dia?" pikirku dengan kesal. Aku mulai melihat ayah dengan penuh ketidaksabaran.

"Sudah berapa lama Pak berdagang di  sini?" tanya ayah.

"Wah saya pedagang lama pak. Sudah ada hampir 10 tahun di sini," jawabnya.

"Tidak ada rencana untuk pindah Pak? Atau membuat toko?" ayahku kembali bertanya.

"Mau sih Pak. Tapi gimana lah, uang juga pas-pasan Pak. Apalagi sekarang semuanya membeli     buah di toko swalayan," celetuk pedagang itu.

"Iya saya mengerti pak. Oleh karena itu saya ingin memberi bantuan," ayahku menjawab sambil mengeluarkan amplop, "saya di sini ingin membantu Bapak."

"Hah? Ini beneran Pak?" jawab pedagang itu dengan terkejut.

"Iya Pak, saya tulus memberi ini. Saya mengerti kondisi Bapak," kata ayah.

"Saya tidak bisa membayar balik ini Pak, apakah Bapak yakin?" kembali ia bertanya

"Tidak perlu dibayar balik Pak, ini bantuan saya untuk Bapak," ayah meyakinkan dia.

Pada titik ini aku sudah tidak tahan lagi. Ayah sudah membawa aku ke tempat seperti ini dan dia membagikan uang secara cuma-cuma. Dan yang tidak bisa aku terima adalah dia memberi uang itu ke orang jelata seperti pedagang itu. Pada saat itu aku ingin marah, tetapi aku tidak ingin marah di depan pedagang itu. Tidak lama setelah itu, akhirnya kita meninggalkan tempat tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline