Lihat ke Halaman Asli

Penerapan Prinsip Kesatuan Berbahasa dalam Komunikasi Interpersonal

Diperbarui: 31 Desember 2023   11:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Evani Chilvi Almaisyaroh dan Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum.

Mahasiswa dan dosen program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret

Komunikasi interpersonal atau disebut juga komunikasi antar pribadi adalah kegiatan pertuturan yang dilakukan oleh seorang individu untuk menyampaikan pendapat atau gagasan kepada individu lainnya. Di dalam pertuturan itu, penutur menyampaikan ide, gagasan, perasaan, dan informasi lainnya kepada mitra tutur. Komunikasi itu dapat berupa komunikasi verbal maupun nonverbal. Pada umumnya, komunikasi interpersonal berlangsung secara tatap muka. Akan tetapi, komunikasi jarak jauh seperti halnya dialog telepon dapat digolongkan pula ke dalam bentuk komunikasi interpersonal. Dengan catatan, terdapat hubungan emosional antara penutur dan mitra tutur.

Menurut Dean Barnlund (1968), seorang ahli komunikasi yang berasal dari Amerika Serikat, komunikasi interpersonal merupakan sebuah komunikasi yang menyangkut-pautkan orang lain. Komunikasi jenis ini terjadi jika penutur maupun mitra tutur berfokus pada isyarat verbal maupun nonverbal yang saling berbalas. Menurut pendapat tersebut, kunci terjadinya komunikasi interpersonal adalah adanya pertuturan verbal maupun nonverbal.

Dalam praktiknya di lapangan, komunikasi verbal maupun nonverbal saja tidak cukup untuk terjadi komunikasi yang padu. Agar sebuah komunikasi dapat berjalan dengan baik, pertukaran informasi harus disampaikan secara santun. Hal ini selain dimaksudkan untuk menghindari miskomunikasi, juga bertujuan untuk menjaga perasaan masing-masing penutur. Hal-hal seperti mimik muka, bahasa tubuh, serta nada bicara juga merupakan faktor penting dalam berkomunikasi. Sehingga, penyampaian informasi secara runtut dan baik saja tidak cukup untuk menciptakan komunikasi yang padu.

Di dalam keilmuan linguistik, kesantunan berbahasa dipelajari secara khusus baik di cabang ilmu sosiolinguistik maupun pragmatik. Salah satu teori kesantunan berbahasa yang terkenal adalah yang dikemukakan oleh Leech. Menurut teori kesantunan Leech (2011), setidaknya terdapat empat prinsip yang harus diperhatikan dalam teori kesantunan berbahasa. Empat hal tersebut di antaranya adalah penerapan prinsip kesantunan, penggunaan eufemisme, penggunaan pilihan kata honorifik, dan penghindaran pemakaian kata tabu.

Berbicara mengenai kesantunan berbahasa, tidak dapat lepas dari prinsip kesantunan berbahasa yang menjadi indikator dari kesantunan itu sendiri. Leech (2011) membagi prinsip kesantunan berbahasa menjadi enam maksim, yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan, maksim kesederhanaan, maksim permufakatan, dan maksim ke simpatisan.

Secara sederhana, gagasan maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesopanan adalah pemikiran bahwa peserta pertuturan sebaiknya mengurangi keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan keuntungan orang lain. Pada maksim kedermawanan, diyakini bahwa kesopanan berbahasa akan tercipta jika peserta pertuturan saling menghormati dengan cara mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan orang lain. Sedangkan, gagasan dasar pada maksim penghargaan adalah bahwa seseorang akan dianggap lebih sopan dengan berusaha memberikan penghargaan kepada mitra tuturnya.

Pada maksim kesederhanaan, penutur akan dianggap sopan jika ia bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Seseorang tentunya akan dianggap sombong dan tidak sopan jika lebih banyak memuji atau mengunggulkan diri sendiri. Selanjutnya, maksim permufakatan berprinsip bahwa sebuah pertuturan akan menjadi lebih sopan jika baik penutur dan mitra tutur memaksimalkan kecocokan di antara keduanya. Dengan begitu, juga akan mengurangi kemungkinan adanya perselisihan. Prinsip terakhir adalah maksim kesimpatian. Pada maksim ini, gagasan utama yang diterapkan adalah keharusan untuk mengungkapkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada mitra tutur. Bentuk rasa simpati salah satunya adalah ungkapan duka atau bela sungkawa saat mitra tutur mengalami musibah. Seseorang yang bersikap acuh dan antipati terhadap orang lain akan dikenal sebagai orang yang tidak santun.

Maksim-maksim tersebut digunakan sebagai indikator tercapainya kesantunan dalam sebuah kegiatan pertuturan. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, hal-hal seperti bahasa tubuh (gesture), mimik muka, serta intonasi suara pun memiliki peran penting dalam tercapainya kesantunan berbahasa dalam sebuah komunikasi. Penutur juga sebaiknya memilih diksi yang cenderung lebih lembut atau tidak memiliki kecenderungan menyinggung. Perlu juka untuk menghindari diksi yang memiliki makna ganda sehingga dapat meningkatkan kesalahpahaman. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline