Lihat ke Halaman Asli

[Untukmu Ibu] Di Langit-langit Doa Mu

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

nomor peserta 297 ; eva Liberty

Gerimis di balik jendela

Jalanan arus utama Pantura begitu macet membikin risau, padahal sudah sejak semalam waktu ayah mengirim pesan agar segera pulang perasaanku gunda, sangat gunda bu. Karena tak seperti biasanya aku begitu terburu buru dipanggil untuk segera pulang. Sejak Subuh tadi sudah kukemas barang-barang dan baju untuk dimasukkan ke dalam ransel. Sebelum jam tujuh aku sudah tiba di terminal, segera kutumpangi bus jurusan Yogyakarta-Surabaya dengan hati pilu dan sarat akan prasangka. Berbagai firasat buruk menghampiriku macamnya, namun kucoba untuk tetap tenang beriringan doa, bahkan dengan ide usilku untuk menghibur diri aku mencoba mengingat-ingat gurauanmu. Berharap bahwa itulah jawaban atas panggilanku kali ini, meskipun aku sendiri sangsi.

“suatu hari kalau ayah tiba tiba memanggilmu pulang itu pertanda ada orang yang datang kerumah memintamu” ucapmu di satu senja yang menyita kehangatan. Aku mendaratkan satu ciuman gemas di pipimu, kau balas merangkulku erat. Terasa dekat dan sangat lekat sekali kasihmu, meski sungguh tak perlu setiap hari kau dekap aku seperti hari itu. Bukankah untaian mutiara doa-mu melatih ku untuk selalu merasa yakin diselimuti cinta meski kau tak selalu disampingku?

Pelan, segera kuusap kaca Bus yang mengabur karena rintik hujan pagi ini, seperti gerimis dihatiku yang berhasil kutelan saja ketika bis yang kutumpangi ini membawaku dalam perjalanan pulang.

Keping Kenangan

Lima belas tahun berlalu, tapi lihatlah! putrimu ini masih terlalu sering menyibak kenangan-kenangan lama yang sungguh menyakitkannya. Ternyata hari itu aku sama sekali masih tak mengerti. Menuduhmu dan ayah ingin mengasingkanku, tak lagi menyayangiku, atau menjauhkan ku karena aku tak berguna. Apalagi yang dipikirkan seorang bocah kecil yang nakal ini, selain menuduh sekehendak hatinya karena masih buta akan cinta yang sesungguhnya melimpah. Setiap malam air matanya selalu tumpah karena teman-temannya menanyakan “di mana ibumu?kapan ia akan menjengukmu?kenapa ibumu jarang menjengukmu?”. Tak bisa kujawab semuanya, hanya dengan menangis terseduh sedan aku meratapinya dan akhirnya menggumpal menjadi sebentuk dendam juga rasa kecewa. Tahun-tahun berlalu tanpa kuhitung, aku merasa tak lagi seperti saat pertama kali datang di asrama dulu bu. Sedikit menikmati dan semakin banyak pengalaman. Kau semakin jarang sekali datang, bahkan terhitung hanya dua bulan sekali. Namun aku benar-benar tak mengerti apa dan mengapa sebab engkau sudah jarang sekali mengujungiku. Kecurigaan ini semakin menjadi-jadi hingga tahun terakhir aku keluar dari asrama, dan tetap saja aku tak mendapatkan jawabannya.

Kupikir aku dan engkau akan semakin jauh bu, tapi untungnya tidak meski sangat jarang kita bertemu. Kau memang perempuan yang tak banyak cakap sepertiku, selalu menjadi pendengar setia celoteh-celoteh tak penting milikku. Entah kau menyembunyikan apa dibalik bias senyum ketika mendengar keluhan serta keinginan melanjutkan studiku ke kota Gudeg yang hari itu sudah berani ku utarakan. Kau bahkan tak pernah menghalangiku, dan selalu membela ketika keputusanku tak mendapatkan restu ayah. akhirnya aku bisa melewati fase ini karena restumu. Terakhir kudengar kau membujuk ayah dengan segudang kata-kata pembelaan dan menyematkan rasa percayanya yang penuh kepadaku, itulah ucap terimakasih yang dalam tulus ku haturkan padamu, bu.

Peluk dan kecup didahimu selalu ku lakukan setiap kali liburan berakhir dan aku akan kembali ke perantauan. biasanya kau akan terlihat sumringah meski beberapa kerutan terlihat di usudut-sudut matamu. Tapi entah, liburan terakhir semester lalu kau terlihat sekali begitu berat melepasku, anak perempuan semata wayangmu. kutinggalkan halaman rumah dengan berat, meski akhirnya dadaku bergemuru karena tangis yang tak bisa kubendung lagi. aku mengingat nasehatmu kemarin soreh, selepas mengemas baju-baju dan beberapa makanan untuk oleh-oleh di perantauan. kau masih mengingatnya kan bu?

“anak perempuan ibu...ingat baik-baik, ibu tidak pernah menginginkan apa-apa darimu, ibu hanya ingin kau menjadi “perempuan baik” dan selalu menjaga diri.nak!” kukecup kedua tangan keriputmu yang sedang kau pangku. Nada merayuku memang membuatmu luluh, melihat tingkahku kau langsung saja mengeluarkan jurus andalan, mencubit pinggangku.

“enjeh ibu....apa lagi yang ibu inginkan?” Aku merayu dengan nada manja, ingin mengubah suasana menjadi santai, tapi tak berhasil. Karena pandanganmu menerawang jauh ke langit-langit kamar seperti melihat harapan di masa depan.

“satu itu saja sudah cukup nduk....Cuma itu yang ibu tau akan mengantarkanmu ke gerbang kesuksesan yang lainnya. semampumu saja..ndak usah muluk-muluk”

Ah, kata-kata ini seperti mukjizat yang turun dari langit. Sangat terang dan mampu menunjukkan sebenar-benarnya jalan untuk mengarungi hidup.Kau perempuan mulia itu bu, perempuan yang benar-benar berjuang untuk melahirkan srikandi yang terlatih siang dan malam menaklukkan kehidupannya sendiri. hingga aku tak mampu melihat ketidaktulusan, atau mungkin sama sekali kau tak punya yang seperti itu?akankah aku bisa sepertimu?

Bertahun-tahun aku pamit pergi dan mengabari untuk sesekali pulang ketika liburan tiba. Tapi belum pernah sepilu ini, aku sendiri tak mengerti kenapa. Ayah berkali-kali mengirim pesan, menanyakan sampai dimana, nanti kalau sudah sampai di terminal segera sms ayah dan seabrek sms lainnya yang kujawab seadanya. Aku tak ingin bertanya apa alasan ayah menyuruhku pulang.

UGD RS Ibnu Sinah

“Seharusnya kau datang lebih cepat untuk ibumu nduk ayu”, bisik bibiku pelan saat aku baru saja memasuki salah satu kamar di UGD. Ia memang salah satu dari keluarga yang tidak merestui kepindahan studiku ke kota gudeg usai lulus MA. Bungkam aku menatap bibi kecewa, aku berdiri di samping ranjang tempatmu berbaring dalam ruangan penuh dengan warna putih ini Sudah satu jam yang lalu bu, tapi kau tetap gigih dalam diammu. Sungguh aku rindu bu,..sangat rindu.

Baru dua bulan yang lalu saat keberangkatanku ke jogja kau peluk dan cium mesra pipiku. Tak berubah seperti waktu masih disekolah dasar dulu. Bukan karena kau terlalu memanjakanku tapi aku merasa takut kehilangan kasih sayang mu sejak lama, bahkan sangat lama dan sungguh aku merasa akan tetap membutuhkanmu kelak. Namun belum genap dua bulan aku kembali ke kota, kau seakan memanggilku untuk pulang menjenguk kemelut rindumu padaku.

Terhitung sudah seminggu kau masih seperti ini. Dokter sudah berkali kali bergantian datang untuk mengganti cairan yang selangnya menempel di tangan kiri mu. Meski aku mulai sesenggukan pagi ini, namun tetap saja bu kau masih belum mendengar ku. Bahkan ketika seluruh keluarga beramai ramai menjenguk mu, kau masih terlihat tenang seakan hanya sedang beristirahat sebentar saja dengan senyum mengembang padahal berhari hari kami sekeluarga bergantian untuk tetap terjaga sepanjang malam. Aku merengkuhjarimu lembut. Mengusap dahimu dan kuciumi pipimu dengan sesenggukan. Bu,..bangun bu..Sofa rindu ibu. Ku kecup lagi dahimu yang sudah mengerut, terlihat beberapa helai rambutmu sudah memutih, tanda usia senja.

“Boleh ayah duduk?” aku bergegas mengusap air mataku yang deras. Ayah membetulkan kursi dan duduk di sampingku. Aku hanya diam, bersegera mendengarkan apa yang akan ayah bicarakan.

“ayah minta maafnduk karena membuatmu pulang pergi begini, sebelum masuk rumah sakit kemarin..ibu sempat pesan pada ayah kalau tak boleh memberitahumu. Tapi kamu harus sudah tau nduk ayu...sebenarnya sudah lama ibu sakit. Ibu tak ingin membuatmu sedih dan susah.makanya dia pilih diam saja, ibumu berkali-kali bilang pada ayah untuk tidak mengganggumu karena kamu harus konsentrasi kulia. Ibu hanya ingin kamuberhasil.keberhasilanmu adalah kesembuhannya..”

Mendengar ucapan ayah, sungguh hatiku tak lagi bak gerimis, tapi sudah menjelma menjadi hujan bulan Desember yang tak henti-henti sehari semalaman. Aku mengusap rambutnya, meletakkan tangnnya di dadaku dengan air mata yang tak henti menetes. Bagaimana bisa perempuan kuat ini menahan tiap sakitnya demi anak-anaknya. Bahkan ia menyembunyikan sakit yang menahun hanya demi mempertahankan semangat anak-anaknya.

Sebulan Berlalu

Kearifan sikap serta kesabaran yang selalu kau perlihatkan padaku menjadi satu cambuk yang tak pernah kulupakan sejak aku mengenal sebuah pemahaman hidup. Bukan ibu nak, tapi ayah lah yang bertekat memberikan pendidikan terbaik untuk buah hatinya kelak. Aku menahan lagi sebutir kaca bening yang hendak menetes dihadapanmu namun kuurungkan. Untungnya hari itu kita bercakap cakap dikeremangan malam dibawah pohon mangga samping rumah, jadi kau tak bisa melihat raut sedihku. Bu, jika kau sembunyikan seluruh rahasia kesakitanmu, mulai hari ini akan selalu kutunjukkan padamu wajah bahagiaku karena memiliki malaikat sepertimu. Untuk apa aku menangis dihadapanmu?bukankah aku seharusnya bahagia memilikimu?

Terimakasih bu. Dengan berbekal sejuta do’a dan harapan menggebu yang menjadi Pembungkus tubuh sejak dalam kandunganmu, aku mampu melangkah. Bukan untuk meninggalkanmu, namun untuk bersiap menggandeng, menggendong dan mengantarkamu ke surga kelak.

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akunFiksiana Communitydengan judul :Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu.

Silahkan bergabung di FBFiksiana Community






BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline