Saya memiliki pengalaman berorganisasi pertama yang benar-benar memberikan pengaruh bagaimana saya bersikap dalam berorganisasi. Ketika itu, saya masih berada di bangku menengah atas dan ikut ekstrakurikuler Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Meski hanya mengabdi untuk satu periode, saya memiliki pelajaran berharga selama mengemban tugas sebagai anggota. Salah satunya adalah ajaran yang saat itu Ketua OSIS selalu ingatkan mengenai dua jenis kepemimpinan yang bisa kami pakai ketika berorganisasi, terlebih ketika dihadapkan dalam memilih sebuah keputusan, yaitu kepemimpinan demokratis dan kepemimpinan otoriter.
Kepemimpinan demokratis adalah gaya yang dimiliki seorang pemimpin yang mampu memandang dirinya sebagai kompenen yang tidak dapat terlepas dari anggota kelompoknya (Garis et al., 2021). Pemimpin demokratif kerap memberikan dukungan kepada anggotanya untuk aktif berpartisipasi dalam aktivitas kelompok. Dengan hadirnya gaya ini, ikatan dekat berkembang di antara anggota kelompok (Pratiwi & Manafe, 2022). Kepemimpinan demokratis yang menghargai pandangan orang lain, mempersiapkan diri secara berbeda, dan mendapatkan kebijaksanaan daripada membantah perbedaan pendapat (Octavia & Savira, 2016).
Ketika dalam berorganisasi, tentunya tidak dapat terlepas dari kegiatan bermusyawarah untuk mencapai mufakat, seorang pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan demokratis akan membuat keputusan yang dibuat bersama anggota demi mencapai tujuan organisasi dengan mempertimbangkan saran, kritik, serta pendapat para anggotanya. Namun, di sisi lain, ada kalanya seorang pemimpin harus memutuskan sebuah langkah secara sendiri tanpa mempertimbangkan saran, kritik, dan pendapat anggotanya. Keputusan tersebut tetap ditujukan demi kebaikan bersama dan tercapainya tujuan organisasi. Untuk itu kepemimpinan otoriter pun dapat digunakan dalam situasi ketika sebuah keputusan tidak dapat diputuskan secara bersama.
Hasibuan (2007) berpendapat bahwa kepemimpinan otoriter merupakan apabila kekuasaan atau wewenang, sebagian besar mutlak tetap berada pada pemimpin atau jika pemimpin itu menganut sistem sentralisasi wewenang. Pemungutan keputusan dan kebijaksanaan hanya ditentukan sendiri oleh pemimpin, anggota tidak dilibatkan untuk memberikan saran, ide, dan pertimbangan dalam proses pemungutan keputusan.
Tentu saja dalam penerapannya, kedua gaya kepemimpinan di atas harus dapat digunakan secara bijak. Apabila keduanya digunakan di saat yang tidak tepat, maka sebuah keputusan, barang kali, tidak akan mengantarkan organisasi kepada tujuan yang ingin diraih. Dua gaya kepemimpinan tersebut masih saya gunakan hingga saat ini dan saya bagikan kepada rekan-rekan organisasi semasa perkuliahan.
Referensi:
Garis, R. R., Garvera, R. R., Sihabudin, A. A., & Galuh, U. (2021). Analisis Tipe Kepemimpinan Demokratis Kepala Desa Dalam Peningkatan Pelayanan Publik Di Desa Karangjaladri Kabupaten Pangandaran. Ilmiah Ilmu Administrasi Negara, 8(2), 295. https://doi.org/10.25157/dak.v8i2.575.
Hasibuan, H. M. (2007). Manajemen Dasar, Pengertian, dan Masalah, Edisi Revisi. Bumi Aksara: Jakarta.
Pratiwi, N. M., & Manafe, L. A. (2022). Gaya Kepemimpinan Demokratis Dalam Memotivasi Kinerja Karyawan. Jurnal Visionida Jurnal Manajemen dan Bisnis, 8(1), 1-12. http://repository.stiemahardhika.ac.id/3894/.
Octavia, L. S., & Savira, S. I. (2016). Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Upaya Meningkatkan Kinerja Guru Dan Tenaga Kependidikan. Jurnal Dinamika : Manajemen Pendidikan, 1(1), 7–14. https://doi.org/10.26740/jdmp.v1n1.p.