2 (dua) hari setelah pencobloksan, saya mampir di warung kopi dekat rumah saya. Kebetulan memang banyak orang minum kopi di warung tersebut. Beberapa dari yang minum kopi dan tanpa ada rasa malu, menceritakan berapa besar uang yang diperoleh setelah pencoblosan. Ada yang memperoleh Rp.50.000 sampai dengan Rp.250.000.
Mereka mengatakan, bahwa 2 (dua) hari sebelum pencoblosan mereka menerima dana sebesar Rp.50 ribu dan saat 1 (satu) sebelum pencoblosan mereka menerima dana Rp.150.000 dari caleg lain dengan partai yang sama.
“Jarno ae, biar arek iku gendeng. Wis dadi anggota DPR yo pura-pura lupa karo awak iki...sekarang mau nyaleg maneh, yo tak entei arek iku” demikian ujar salah satu dari mereka.
Mereka bercerita dengan sangat senang karena bisa “mengerjai” para caleg dengan iming-iming suara coblosan. Tidak heran mereka tertawa dan tersenyum manis ketika mereka menonton televisi yang ada di warung kopi tersebut. Mengapa mereka tertawa? Karena TV One dan Metro TV menampilkan berita tentang caleg yang stress dan depresi lantaran hanya memperoleh 4 (empat) suara sementara ratusan juta sudah dikeluarkan oleh caleg yang stress dan depresi tersebut. Apalagi 4 suara itupun adalah suara dari keluarganya sendiri.
“Aku wis nompo satus sewu. Aku ora wani nompo liyane....”.
Banyak hal yang dapat kita pelajari dari perbincangan di warung kopi tersebut.
Pertama, pemilihan calon anggota legislatif tanggal 9 April 2014 yang lalu adalah pesta demokrasi namun belum menjadi pesta rakyat. Untuk sebagian besar mayoritas masyarakat Indonesia, Pemilihan legislatif 9 April masih dipandang sebagai rangka rutinitas pelaksanaan UU Penyelenggaraan Pemilu dan belum menjadi ajang bagi rakyat untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan secara konstitusional. Rakyat mendatangi bilik-bilik suara bukan dengan semangat kekuasaan hak politiknya namun hanya sekedar memenuhi undangan pesta dari mereka yang punya hajatan dari penguasa politik yaitu partai politik dan penyelenggara Pemilu (Pemerintah/Pemerintah Daerah, KPU dan Baswaslu).
Kedua, hampir dipastikan, para calon anggota legislatif yang tidak memperoleh kursi parlemen adalah para caleg yang tidak mempunyai basis pengorganisiran. Ada sahabat saya yang menjadi caleg PKB dan Gerindra. Sehari-harinya mereka bekerja di jakarta dan aktif sebagai advokat. Saya sangat heran, apa yang membuat mereka berani menjadi caleg, sementara mereka selama ini sibuk dengan urusan dengan kerja di jakarta dan bolak-balik ke luar kota untuk urusan advokat. Sementara Dapil mereka ada di Jawa Timur I (Surabaya-Sidoarjo). Apa yang membuat mereka yakin akan memperoleh kursi DPR RI sementara mereka hanya mengkampanyekan dirinya dengan mengandalkan ribuan alat peraga dan beberapakali pertemuan dengan pemilih. Dan alhasilnya mereka memang tidak memperoleh kursi di parlemen dan perolehan suaranya sangat minim. Lalu mereka klaim, bahwa mereka kalah dengan adanya “politik uang”. Tapi ada juga, sahabat saya yang sehari-harinya aktif di Jakarta dan dapat dihitung kehadirannya di Surabaya dan Sidoarjo tapi memperoleh kursi di DPR RI dengan perolehan suara yang sangat signifikan. Maka saya pastikan, mereka berhasil menggunakan politik uang. Sementara itu, banyak sahabat saya yang selama ini banyak mendampingi warga miskin, buruh yang di PHK, mendamping kurban-kurban pengusuran justru tidak memperoleh kursi di parlemen.
Ketiga, setelah pencoblosan banyak caleg yang mengeluh karena suaranya hilang pada saat rekapitulasi formulir C1. Kasus seperti ini sudah pernah terjadi Pileg 2004 dan 2009. Dan kejadian ini terus menerus terjadi tanpa ada penyelesaian yang pasti. Mengapa kasus ini sulit diselesaikan? Karena para caleg tidak mudah melakukan gugatan karena untuk melakukan gugatan harus mendapatkan izin dan sepengetahuan pimpinan partai. Dan umumnya, suara caleg yang hilang diambil oleh caleg lain dalam satu partai.
Dapat diambil kesimpulan, bahwa masih lebih baik dari mereka yang golput daripada memilih atau mencoblos surat suara karena digerakan uang. Politik uang akan terus ada selama masih ada kemiskinan dimana-mana dan penguasa akan memelihara kemiskinan tersebut untuk memperoleh kekuasaannya. Demokrasi ternyata tidak lebih sebuah rumah mewah yang diisi oleh orang sakit. Maka betullah kata filsuf terkenal, demokrasi adalah sistem politik yang paling korups.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H