Lihat ke Halaman Asli

Catatan Harian Seorang Guru: Panggung Sandiwara Sebuah Sekolah

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dear diari,

Bekerja di sekolah elit di tempat itu bagiku seperti berada di atas panggung sandiwara. Ketika kordennya dibuka, dari luar segala sesuatu terlihat rapi terpoles. Para guru yang menjadi tokoh utamanya menjaga image dan berakting sesuai instruksi sang sutradara dan produser demi memenuhi tuntutan masyarakat yang sudah membayar mahal. Namun ketika korden ditutup, sekelumit kisah nyata kehidupan dan drama percintaan hingga perselingkuhan bak kisah sinetron bergulir di belakang panggung tanpa henti.

Bagaikan selebritis yang tutur kata dan kehidupan pribadinya disorot setiap saat, itulah kehidupan guru di sana. Kesempurnaan selalu dituntut oleh masyarakat dari profesi guru, seakan menutup mata bahwa tidak ada satupun manusia sempurna termasuk para guru di sekolah itu. Terlalu perfeksionis dan tidak realistis kalau kau menuntut kehidupan sempurna yang lurus sepanjang jalan dari seorang guru. Faktanya beberapa guru yang kukenal di tempat itu adalah pecandu narkoba, aktor penggemar dugem, gay, penganut seks bebas, perokok dan pemabuk. Sebagian masih sembunyi-sembunyi melakukan semua itu sebagai bagian dari kehidupan pribadi mereka, sebagian sudah bertobat. Bagaimanapun guru juga manusia biasa yang berhak memiliki kehidupan pribadi asalkan itu tidak menganggu kehidupan orang lain terutama anak didiknya.

Fakta kedua, tidak ada satupun kata mudah bagi seorang idealis begitu menjejakkan kaki menjadi guru di sekolah itu, sebuah sekolah Kristen yang mentereng dengan fasilitas kolam renang serta penjagaan ekstra ketat bak berada dalam penjara eksklusif. Sebagian besar orang tua murid yang berasal dari kalangan menengah ke atas menganggap profesi guru di sekolah kurang lebih sama seperti pengasuh anak mereka di rumah. Pelayanan istimewa dari tiap guru wajib mereka dapat atas harga tinggi yang telah mereka bayarkan ke sekolah. Daripada susah menjadi guru idealis, banyak guru disana bersedia "bekerja sama" dengan orang tua murid dengan cara menukar independensi profesinya dengan segala macam bentuk sogokan mulai dari uang, hadiah dan fasilitas menarik lainnya.

Terakhir, terlalu naif jika kau membayangkan gedung sekolah itu berisikan sekumpulan pekerja yang sederhana, baik, dan jujur. Maaf, kenyataan tak seindah bayanganmu. Sederhana jelas bukan kata sifat populer dalam komunitas pendidik di sekolah itu yang mayoritas bergaya hidup hedonis. Dan sama seperti gedung kantor tempat berkumpulnya pekerja kantor, dalam gedung sekolah tempat berkumpulnya pekerja sekolah juga ada kecurangan, ketidakjujuran, intrik, perlombaan cari muka hingga bullying. Pelakunya mulai dari satpam yang bengis hingga sekelompok oknum guru dan kepala sekolah yang berkedok agama untuk menutupi kebusukan mereka.

Namun di atas semua itu, di sekolah itu ada begitu banyak kenangan indah dalam persahabatanku dengan murid-muridku kelas satu SD yang dunianya masih sangat polos. Semua tersimpan dan terbingkai rapi dalam album kenanganku, bagai kisah Mahabharata terukir pada kulit pohon yang tak mungkin terhapus oleh jejak waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline