Lihat ke Halaman Asli

Eunice Mariyani

Ditebus dan dibayar lunas

Ditolong TKI Saat Berlibur ke Hong Kong

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13794889301238147796

Jika ada yang bertanya kepadaku liburanku yang paling berkesan, tanpa ragu aku akan menyebutkan liburanku ke Hong Kong delapan tahun yang lalu. Bagaimana tidak? Liburan itu adalah pertama kalinya aku naik pesawat terbang, pertama kali aku ke luar negeri, pertama kali naik bus Rosalia Indah, pertama kali aku masuk ke Bandara Soekarno-Hatta, pertama kali bertatap muka dengan teman-temanku yang sebelumnya hanya saling berkirim email, dan pertama kalinya berhubungan langsung dengan para Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, para pahlawan devisa kita, khususnya yang ada di Hong Kong. Serunya, dari kotaku Solo sampai ke Hong Kong aku pergi seorang diri. Ada yang berani melakukan hal yang sama dengan yang aku lakukan? Melakukan hal dan mengunjungi tempat yang belum pernah aku alami dan kunjungi sebelumnya seorang diri. Nekad? Mungkin banyak yang berani karena toh nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut yang gagah berani mengarungi samudera dan terdampar di tempat yang jauh. Aku melakukan perjalanan itu pada awal September 2005. Karena tidak punya pengalaman aku bermaksud membeli tiket saat dekat dengan tanggal keberangkatan, tetapi alamak pada tanggal 16 Agustus Presidenku SBY pidato rutin dan tiba-tiba saja dolar Amerika maupun dolar Hong Kong melambung tinggi tanpa sebab yang jelas. Seperti keadaan pada tahun ini. Tetapi tahun ini atau juga tahun 2008 ada penjelasannya, tahun 2005 tidak ada sebab yang jelas. Jadi perjalanan ini jadi tidak terlupakan karena aku juga mengalami kerugian karena selisih kurs dolar. Karena menunggu dolar sedikit turun aku kehilangan kesempatan mendapat tiket promo dari Malaysia Air. Saat itu Singapore Airline dan Cathay Pacific jadi mahal sekali diluar jangkauan jadi saya akhirnya mendapat tiket Garuda Indonesia. Belum ada maskapai murah pada saat itu. Jadi pada hari H saya berangkat dari Solo dengan bus Rosalia Indah yang katanya punya kantor di Tangerang jadi paling dekat dengan Bandara Soekarno Hatta dibanding bus malam lain. Armada Rosalia Indah banyak sekali sampai akhirnya bus saya datang. Karena sepi saya merasa nyaman sepanjang perjalanan dengan dua kursi yang saya pakai seorang diri. Sampai di Tangerang sudah pukul tujuh pagi lebih. Ternyata bus tidak berhenti di kantornya di Tangerang dan melaju terus entah ke mana sehinga perasaan saya jadi tidak enak. Saya bicara dengan kondektur saya akan ke Bandara, alamak, ternyata bus sudah melaju jauh dari jalan terdekat ke Bandara jadi saya turun, mencari taksi dan langsung saya minta ngebut ke bandara. Tidak mudah ngebut di Jakarta. Atau tidak bisa karena seperti yang kita tahu jalan macet dan ada pembangunan di sana-sini yang kalau saya pikir sekarang mungkin itu untuk mempersiapkan jalur busway. Pesawat berangkat jam 9:05 pagi dan saya muncul di Bandara Soeta jam 8:35. "Sudah boarding dari tadi", ujar petugas Garuda prihatin, tetapi syukur pada Tuhan saya masih diijinkan check in. Setelah itu masih mengurus bagasi, membayar fiskal (kan jadoel kisahnya), ke toilet, lirik-lirik toko-toko yang ada di Bandara sebelum tiba-tiba saya dengar nama saya dipanggil untuk segera menuju gate yang ditentukan. Segera saya berjalan ke sana dan tiba-tiba disongsong para petugas Garuda yang semuanya berlari jadi saya diminta berlari juga sambil diperiksa tiket dan paspor. Setelah 'digiring' masuk ke pesawat saya langsung ditatap oleh puluhan mata penumpang, entah pada melotot atau tidak. Yang jelas pesawat langsung bergerak setelah aku masuk dan mulus meninggalkan Jakarta. Garuda saat itu mungkin jauh dibanding Garuda sekarang, tetapi saya sudah merasa nyaman. Sekarang setelah saya mencoba berbagai pesawat Air Asia, Sriwijaya, Batavia, memang terbang dengan Garuda bagi saya yang baru pertama kali naik pesawat itu nyaman. Bulan November nanti kebetulan saya untuk pertama kali akan mencoba pesawat Silk air dan akan coba saya bandingkan. Kemudian saya mendarat di Hong Kong International Airport, bandara terbaik di dunia saat itu, dan sepertinya pada masa-masa itu gelar terbaik diraih lima kali berturut-turut. Megah, luas, terang-benderang, mudah untuk mencari sesuatu, itu pendapat saya yang mengikuti arahnya sampailah saya ke perhentian bus. Maka saya naik bus ke arah Causeway Bay, saya sudah berkencan akan bertemu teman di SOGO sebelum ke tempat penginapan di daerah yang sama. Rupanya naik bus di Hong Kong harus bayar dulu, tidak ada kondekturnya, pantas saja supirnya melotot saat saya hendak langsung duduk. Saya nikmati  pemandangan dari dalam bus, melewati Tsing Ma Bridge yang sempat jadi jembatan terpanjang di dunia, memandang ratusan container di pelabuhan HongKong, melihat bangunan-bangunan beton yang membentuk hutan. Di bus saya bertemu dengan rombongan TKI yang dikawal oleh agennya. Mereka ramai bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia. Saya pernah dengar kalau kawasan Causeway Bay tempat saya menginap itu adalah daerah yang paling banyak TKInya, jadi saya pikir mengikuti mereka turun pasti saya aman dan tepat di daerah Causeway Bay. Di perjalanan saya selalu memperhatikan tempat-tempat perhentian sampai tiba-tiba para rombongan TKI turun dan sayapun buru-buru turun karena saya pikir sudah sampai. Setelah turun saya mencari-cari SOGO tetapi dari halte bus saya menyadari saya masih berada di daerah Wan Chai bukan Causeway Bay. Wah bagaimana ini saya pikir ini masih jauh walau menurut peta dekat karena jalan-jalan di kota saya Solo pun jaraknya jauh-jauh. Ternyata seharusnya sudah dekat karena ternyata jalan di HongKong itu tidak terlalu panjang atau jauh seperti jalan di Indonesia. Berjalan kaki pun sebenarnya nyaman dan dekat. Tetapi karena tidak tahu saya pun naik taksi, saya pikir aman dan beres nih pasti akan sampai ke tujuan. Karena sudah lewat waktu yang saya tentukan untuk bertemu dengan teman di SOGO saya putuskan langsung menuju ke tempat penginapan. Eh tiba-tiba taksi berhenti dan supirnya mengatakan sesuatu dengan bahasa Inggris yang tidak begitu jelas sambil menunjuk-nunjuk suatu arah. Ya udah saya turun saya pikir sudah dekat saya bisa bertanya-tanya kepada orang-orang lokal yang saya jumpai. Apartemen tempat saya menginap no.nya 7. Saya bertanyapada seorang Bapak di sana sambil menunjukkan tulisan dengan alamat tempat saya menginap. Mungkin Bapak yang orang Hong Kong tadi malas membaca dan langsung menunjukkan bangunan di belakangnya yang tertulis no.7.  Wah kok pas pikir saya tapi saya kira ini bukan alamat yang benar. Saya cari-cari papan nama jalan kok tidak ada yang ada cuma nomor-nomor gedung. Jadi saya masuk saja karena diberi petunjuk bapak tadi. Penjaga apartemen adalah seorang India yang cuek, tersenyum tidak, bertanya tidak, jadi saya naik saja melalui tangga dan mencari nomor apartemen di gedung tersebut. Saya ketuk pintu apartemen dan keluarlah seorang gadis TKI yang bertanya dalam bahasa Cantonese. Saya ajak bicara Inggris tetapi dia tidak mengerti, mau saya ajak berbahasa Indonesia, saya takut jangan-jangan dia orang Filipina. Majikannya keluar, seorang oma yang walau tidak tersenyum tapi cukup ramah. Ada juga cucunya yang kelihatannya masih SD. Intinya oma tadi bilang tempat itu bukan guest house yang saya cari. Jadi saya turun ke tempat penjaga apartemen yang orang India. Saya ajak bicara, saya tanya alamat tetapi dia cuma geleng-geleng kepala terus. Saya lihat di situ ada telpon jadi saya memberanikan diri untuk menelpon teman saya. Eh sialnya telpon nya tidak nyambung (belakangan teman saya bilang memang saat itu dia harus mematikan telpon karena sedang mengajar). Lalu masuklah seorang gadis Hong Kong yang cantik (hampir semua gadis Hong Kong cantik). Lalu orang India itu memanggil gadis itu sambil menunjuk-nunjuk saya. Saya coba ajak bicara gadis itu sambil menunjukkan alamat yang hendak saya tuju. Anehnya, seperti Bapak di luar gedung tadi, gadis itu juga bersikukuh inilah bangunan yang saya cari, sama-sama no.7. Lalu dia mengajak saya ke atas ke apartemen yang beberapa saat lalu sudah saya ketuk pintunya. Keluarlah TKI yang tadi, masih muda mungkin umurnya sekitar 18 tahun, berkulit bersih walau berwarna coklat dan mahir bahasa Cantonese. TKI menjelaskan bahwa apartemen itu bukan yang saya cari.  Gadis Hong Kong itu bilang (saya lupa pakai bahasa apa) tetapi saya dan gadis TKI mengerti jelas maksudnya, kan kami sama -sama orang Indonesia jadi dia meminta TKI tadi membantu saya. Aneh juga gadis tadi langsung tahu saya orang Indonesia. Oma majikan TKI yang mendengar dengan baik hatinya menyuruh gadis TKI tadi membantu saya. Jadi karena sudah tahu gadis TKI tadi benar-benar orang Indonesia jadi kami mulai bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia. Lalu dia meminta saya menunggu sebentar karena dia ingin menyelesaikan pekerjaannya. Beberapa saat kemudian gadis TKI tadi keluar mengajak saya keluar gedung melewati orang India yang kembali cuek dan masuk ke gedung bertingkat di sekitar bangunan tadi. Saya pikir dia hendak mengantar saya ke tempat yang saya cari, tetapi ternyata tidak. Dia membawa saya ke TKI lain yang sudah berumur, ramah seperti banyak orang Indonesia, terlihat bijak dan pintar, sebut saja namanya Minah. Kami pun mengobrol dan saya memperlihatkan alamat saya. Minah langsung berkata ini tempat si A bekerja. Oh sepertinya semua TKI di daerah itu dikenal oleh Minah, jadi dia tahu TKI yang mana bekerja di mana. Dan Minah punya no. telepon semua TKI jadi dia punya no. telepon si A. Minah membuatkan es sirup buat saya dan mempersilakan saya duduk di sofa yang bagus. Minah bilang majikannya sedang ke luar negeri. Dan majikannya pun orang Indonesia asal Medan. Sama seperti pemilik guest house tempat saya menginap pun orang Indonesia. Wah hebat juga ternyata orang Indonesia cukup tersebar di mana-mana. Setelah ditelpon Minah, si A berjanji akan datang untuk menjemput saya setelah dia bebas tugas. Jadi sekitar jam lima lebih datanglah si A menjemput saya. Memang dia bekerja di guest house yang saya cari, jadi dia memang sudah tahu saya akan datang hari itu karena sebelumnya saya sudah memesan kamar. Oh, terima kasih kepada tiga pahlawan devisa yang telah menolongku hari itu. Jadi saya pun diantar ke kamar yang kosong karena teman sekamar saya yang asal Penang masih menunggu saya di depan SOGO. Alamak. Kasihan betul. Setelah bertemu dengan teman saya yang lunglai pulang dari SOGO tanpa bertemu saya, kami mulai bercerita seru, mandi dan malam itu juga kami menjelajahi kawasan Causeway Bay. Ada Time Square yang merupakan mall yang terkenal di kawasan itu, makan mie di suatu rumah makan dan menjelajahi tempat-tempat yang mengesankan seperti Queen Coffee yang pernah dipakai lokasi shooting film, melewati restoran-restoran favorit orang-orang terkenal Hong Kong, toko-toko yang unik dan buka 24 jam. Causeway Bay memang kawasan yang seru dan berwarna. Karena waktu Indonesia lebih awal satu jam dari HongKong saya pun tidak merasa lelah. Padahal saya berjalan-jalan sampai larut, kalau di Indonesia pada jam yang sama saya sudah tidur. Jadi saya berterima kasih sekali lagi pada para TKI yang mau menolong saya pada saat itu sehingga saya bisa mengalami liburan singkat namun sangat bermakna di Hong Kong. Keesokan harinya saya mengunjungi Victoria Park yang ada di kawasan Causeway Bay juga, kemudian naik tram melewati Wan Chai ke distrik Central yang penuh dengan bangunan-bangunan mewah termasuk toko-toko yang menjual barang-barang bermerk. Kemudian kami pergi ke Victoria Peak. Inilah The Peak yang adalah puncak tertinggi di Hong Kong dan harus dikunjungi bila kita ke Hong Kong. Di sini ada Museum Patung lilin Madame Tussaud. Dari sana kita bisa melihat pemandangan seluruh Hong Kong dengan pulau, teluk, laut dan bangunan-bangunannya yang indah. Pulang ke guest house untuk membersihkan diri, kami langsung kembali ke Central, naik ferry ke Tsim Sha Tsui menuju Hong Kong Cultural Center (kalau tidak salah nama bangunannya, maklum sudah 8 tahun), yang ada pameran opera Beijing China, lalu saya keluar dan bertemulah saya dengan teman-teman yang selama ini hanya saya kenal melalui email. Kebetulan saat itu sudah senja dan tanpa sengaja saya melihat dan menikmati symphony of light dari Avenue of Stars yang ada tapak tangan bintang-bintang film Hong Kong. Ada fotonya nih. Dari Avenue of Stars itu kita bisa melihat satu-persatu lampu yang berwarna-warni menyala di pulau Hong Kong yang dipisahkan oleh teluk Kowloon dari tempat saya berdiri. Makan malam hari itu di McDonald Tsim Sha Tsui sambil bertukar cerita dengan teman asal Surabaya yang bekerja di Hong Kong (yang kemarin saya telpon baru mengajar). Dan pulang ke guest house larut lagi. Sebetulnya banyak foto, tapi saya harus ijin dulu ke teman-teman untuk menampilkan foto-foto mereka, jadi saya tidak berani memasangnya. Besoknya lagi saya menjelajah Nathan Road dan berkesempatan menghadiri suatu seminar lokal dengan bahasa Cantonese. Memang saya tidak mengerti tapi saya ingin memiliki suatu pengalaman bagaimana suasana seminar di sana. Kelak walau ada uang mungkin saya tidak ada kesempatan yang sama. Makan malam hari itu di restaurant China yang daftar menunya semua pakai huruf China yang tidak saya mengerti.Untung ada gambar masakannya jadi bisa kami tunjuk :) Hari berikut mengunjungi pameran di HKCEC (Hong Kong Convention and Exhibition Center) yang gedungnya berbentuk unik seperi keong. Jadi lumayan mencoba MRT beberapa kali yang sampai sekarang kok di negara saya belum ada ya. :( Pulang berbelanja membeli oleh-oleh di night market dan beberapa toko. Besoknya kembali ke Hong Kong International Airport dan akhirnya kembali ke Jakarta. Sudah delapan tahun berlalu, rupanya cukup banyak yang masih saya ingat. Lain kali mungkin berani deh sendirian lagi jalan-jalan di Hong Kong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline