Lihat ke Halaman Asli

Mencicip Kunjungan Singkat ke Tebing Keraton

Diperbarui: 6 Juli 2015   11:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Tebing Keraton, 7/6/2015 (dokpri)

Perjalanan nyubuh, membelah jalanan Dago yang masih lengang. Minggu pagi selepas subuh itu saya menumpang angkot Ciroyom - Ciburial yang sepi penumpang. Jl. Ir. H. Juanda jelang pagi itu masih gelap dan sepi dari kendaraan, pun nyala lampu-lampu jalan masih setia menerangi keremangan. Hanya ada seorang penumpang lain, itu pun kosong lagi tak lama kemudian. Perjalanan yang sunyi, hanya pecah sesekali oleh obrolan kecil dengan Mang Sopir angkot yang melempar satu-dua pertanyaan. Lain dari itu, saya menikmati perjalanan ini. Jarang-jarang saya melihat wajah jalanan Dago di subuh hari begini, yang sangat berbeda dengan yang biasa saya jumpai di siang hari yang ramai, dan sering macet. Perjalanan terus berlanjut menembus udara dingin pagi Kota Bandung menuju arah Desa Ciburial. Sudah lama saya tak kesini. Lepas lewat pemandangan kelap-kelip lampu pemukiman di kejauhan, jalanan mulai berganti wajah menjadi lebih sempit dan tidak rata. Kiri-kanan jalan mulai tercium aroma sawah dan pepohonan. Suara jangkrik & tonggeret masih kedengaran menyambut pagi. Saya turun di depan Pesantren Babussalam.

Episode berikutnya adalah celingukan sendirian. Saya jadi serba salah mau ngapain. Ternyata saya datang kepagian. Pagi 7 Juni itu saya datang kesana untuk mengikuti acara sillaturrahim plus munggahan Kompasianer Bandung. Rencananya yang bisa nginap di Babussalam atau datang nyubuh dapat bonus jalan-jalan menyambut Sunrise di Tebing Keraton. Yang tidak bisa dipersilakan datang ke Babussalam jam 9 pagi untuk mengikuti munggahan plus blogshop, dimana Kang Pepih Nugraha hadir untuk sharing kepenulisan. Karena saya tak bisa menginap, juga tak pede bisa datang subuh, saya tak berencana ikut ke Tebing Keraton. Masih pukul setengah enam. Wah, masih 3,5 jam lagi kalau mau nunggu acara dimulai jam 9. Sementara itu Kompasianer Bandung yang datang menginap sudah berangkat ke Tebing Keraton sedari tadi.

Tadinya saya mengira akan sulit menemukan angkot Ciroyom-Ciburial, karena angkot tersebut terkenal "langka" dan tak bisa diprediksi kapan lewatnya. Ternyata perkiraan saya meleset. Pagi beranjak lambat, sementara saya berkutat dengan hp, mencoba menghubungi seseorang entah via sms atau medsos grup. Daripada bingung celingukan, saya memutuskan untuk berjalan-jalan. Sebetulnya suasana pagi di pedesaan itu menggoda saya untuk sedikit menjelajah. Setelah bertanya ke satu-dua santri yang lewat, saya beranjak menuju sebuah jalanan menanjak melewati asrama santri. Saya melewati sebuah vila yang cukup megah. Dari situ saya bisa melihat pemandangan sekitar yang hijau. Saya masih ingin meneruskan perjalanan ketika tiba-tiba dari arah berlawanan muncul sesuatu yang menggagalkan niat saya. "Duh, kenapa ada anjing?" Gerutu saya sembari langsung berbalik arah. Baru saya tahu belakangan bahwa di daerah ini memang banyak anjing berkeliaran.


Suatu tempat di Ciburial

Kecewa karena anjing *eh, daripada celingukan lagi mending cari warung buat sarapan. Udara dingin dan perut kosong membuat perut keroncongan. Semangkuk lontong dan segelas teh hangat segera tandas. Saya berlama-lama di warung itu sambil bertanya-tanya sedikit ke pemilik warung tentang Tebing Keraton. Saya memang lama di Bandung, tapi belum pernah ke Tebing Keraton. Dan tentu saja penasaran ingin kesana. Ketika saya mulai khawatir musti ngapain lagi nunggu jam 9, beruntunglah akhirnya saya bisa menghubungi Bang Aswi yang sudah berada di Tebing Keraton. Ditawari untuk dijemput, malah. Wah, tentu saja saya tak nolak. Begitulah akhirnya saya menyusul rekan-rekan Kompasianer Bandung ke Tebing Keraton. Kunjungan yang singkat, namun tetap berkesan.

Dengan bermotor, perjalanan ke Tebing Keraton ternyata cukup menegangkan. Pasalnya, medannya sangat curam dan berbatu-batu. Sempat tambah tegang ketika berpapasan dengan motor lain di area jalan curam berbatu yang tak terlalu lebar. Setelah mengalaminya, saya pikir perjalanan ke Tebing Keraton akan lebih asyik jika ditempuh dengan berjalan kaki sambil trekking. Sembari berolah raga, bisa sekalian menikmati suasana pedesaan di sekitar. Daerah ini juga familiar sebagai trek para bikers. Warung Bandrek yang terkenal dengan sebutan Warban merupakan lokasi yang sering dijadikan spot ngumpul para pesepeda itu. Melihat kondisi jalanannya, sebaiknya berkunjung ke Tebing Keraton dilakukan di hari cerah. Kebayang di musim hujan jalanannya akan licin dan lebih berbahaya. Tebing Keraton terletak di Desa Ciharegem, Ciburial, dan ternyata masih termasuk kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda. Jadi ternyata kawasan hutan Dago Pakar itu tak cuma nyambung ke Maribaya, melainkan juga Tebing Keraton ini. Duh, tiba-tiba saya jadi teringat kenangan outbond di Maribaya bertahun-tahun lalu. Saya jadi kepingin trekking menyusuri hutan dan berkunjung ke Curug Maribaya. Adapun hutan Dago Pakar, saya sudah lebih dari sekali kesana, juga sempat menyusuri Goa Belandanya.

Setiba di Tebing Keraton, saya masuk melalui gerbang batu. Tiket masuk ke Tebing Keraton Rp.11.000. Disana ada panduan dan tata tertib untuk pengunjung yang harus diperhatikan. Namun demikian, ternyata masih ada saja pengunjung yang tak mengindahkan peraturan itu. Tebing Keraton atau Tebing Karaton (sunda) sering disebut Cadas Jontor oleh penduduk sekitar. Tempatnya memang berupa tebing batu yang menjorok di ujungnya. Saya disambut dengan pemandangan spektakuler Tebing Keraton yang terkenal itu. Disana-sini para pengunjung sibuk berfoto dan selfie ria berlatarkan pemandangan hijau dan pegunungan yang indah. Momen terbaik menikmati keindahan pemandangan Tebing Keraton adalah ketika Sunrise. Namun, meski saat itu matahari sudah beranjak sedari tadi, keindahan pemandangannya tetap memesona dan menyejukkan mata.


Pemandangan di sisi kanan Tebing Keraton

Terpesona oleh keindahan ini, banyak pengunjung yang nekad keluar pagar pembatas demi mendapatkan spot dan latar foto terbaik. Padahal aturannya tidak boleh melewati pagar pembatas demi keselamatan. Ada pula pasangan yang tengah berpose prewedding di atas batu yang menjorok di atas jurang di luar pagar pembatas itu. Cantik memang, pemandangannya pun spektakuler, tapi bayangan ngeri tetap terlintas di benak saya melihatnya. Mana yang perempuan pakai gaun panjang pula, khawatir terpeleset... Saya kira, perlu untuk memasang pagar yang desainnya aman dan tak dapat dilewati dengan mudah oleh pengunjung demi mengutamakan safety. Itu satu hal, menjaga kebersihan adalah hal lain. Sebagai pengunjung, kita dihimbau untuk menjaga kebersihan area, tapi masih ada saja bungkus-bungkus rokok tergeletak sembarangan.


Pengunjung Tebing Keraton yang melewati pagar pembatas
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline