Salah satu pelajaran saat di pondok yang paling saya ingat adalah mahfudzhot. Pelajaran yang yang berisi kata-kata mutiara dan peribahasa arab tentang ilmu dan kehidupan yang harus santri hafal. Tak heran jika di setiap sudut pesantren kita akan menemukan santri yang mojok dengan kitab ditangannya. Mereka sibuk menghafal bait-bait syair.
Selain man jadda waja yang mahsyur, ada syair lain yang masih melekat dalam ingatan.
Alilmu soyyidun
(ilmu itu bagaikan binatang buruan)
Wal Kitabatu Qoiduhu
(dan buku/tulisan/catatan adalah pengikatnya)
Qoyyid Suyudaka Bil Hibali Watsiqoti
(ikatlah binatang buruanmu itu/ilmu itu/ dengan tali yang kuat)
Faman Hamaqoti Antashida Gozalatan
(barang siapa yang telah mendapat buruan rusa tapi tidak mengikatnya)
Watatrukuha bainal kholaiki tholiqotan
(maka rusa itu akan lepas dan meninggalkan mu dengan mudah)
12 tahun sejak syair itu dihafalkan, baru hari ini saya memahami benar sedikit dari begitu luas maknanya. Ketika berbincang dengan seorang guru senior yang pernah berinteraksi langsung dengan Ibu Ajengan istri ulama besar K.H.R. Abdullah bin Nuh. Ia bercerita bagaimana cara Ibu Ajengan mengikat ilmu seperti dalam dalam syair tersebut.
1. Biarkan bukumu tetap bersih
Bagi santri tentu tidak asing dengan kitab kuning yang gundul tanpa harakat. Kitab yang gundul harus tetap gundul ketika dipelajari. tidak boleh dicoret demi menghormati ilmu. Jika butuh menulis keterangan maka harus ditulis di buku khusus. Saya teringat ketika belajar kita kuning di pondok, yang awalnya kitab gundul berubah menjadi gondrong. Belum lagi coretan di sana sini. Jangankan dipakai adik kelas nantinya, saya sendiri saja enggan sekedar melihatnya lagi karena berantakan.
saya rasa membiarkan buku tetap bersih berlaku untuk semua buku, tidak hanya kitab kuning gundul saja. Bayangkan jika buku yang kita pelajari kondisinya tetap bersih , pasti akan jauh lebih bermanfaat untuk dipakai banyak orang nantinya. Saya sering mendapati anak-anak didik kita mencoret bukunya. maka sudah saatnya kita lebih memperhatikan hal yang nampak sepele ini semata untuk menghormati ilmu.
2. Menulis dengan rapi
Bukan sekedar tulisan yang rapi. Cara berpikir orang berilmu itu memang jauh kedepan. Ketika Ibu Ajengan mencatat di buku tulis halaman pertama tidak melanjutkan ke halaman kedua tapi langsung ke halaman ketiga. Sepertinya boros, sayang kertas dan tidak efektif. InsyaAllah tidak akan mubadzir. Tujuannya agar tulisan di halaman pertama tidak rumsak karena ada bayang-bayang tulisan dari halaman kedua. Bayangkan jika secara tidak sengaja buku catatan kita basah maka tulisan akan menumpuk tak terselamatkan.
3. Upgrade tulisan
Ternyata aktivitas upgrade tidak hanya untuk perangkat lunak saja, tapi tulisanpun perlu diupgrade agar ilmu tetap terikat kuat. Dari penuturan senior saya tersebut, Ibu Ajengan terbiasa menulis kembali apa yang ada dalam catatannya. Dalam kurun waktu beberapa bulan sekali Ibu Ajengan akan menulisnya persis dengan tulisan di buku pertama berikut letak dan halamannya. Tujuannya untuk mengantisipasi agar ketika buku yang satu hilang maka catatan masih ada di buku yang sudah disalin.
Ditengah aktivitas tulis tangan yang kian ditinggalkan tak berarti syair arab tersebut dan apa yang telah dicontohkan Ibu Ajengan hanya sebuah wacana saja. Sebagai pendidik kita dapat mengadaptasikannya dengan kecanggihan teknologi masa kini.