Lihat ke Halaman Asli

Bunga Tak Mewangi

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kisah berikut dapat terjadi di mana saja. Di sekolah tempat saya bertugas, di sekolah Anda, di mana saja. Kisah muram dari buramnya potret pergaulan remaja berseragam sekolah. Tulisan ini disajikan kepada Anda agar lebih memahami betapa berap tugas yang diemban oleh seorang pendidik.

Nun di suatu hari, di sebuah sekolah, berbilang tahun yang lalu….

*******************************************************************************

Untuk kesekian kalinya gadis itu dinasehati, dan diajak bicara dari hati ke hati jikalau ada hal-hal yang ingin diungkapkan terkait kasus hubungan gelapnya yang terkuak tanpa sengaja dalam sebuah razia handphone di sekolah. Masih tanpa hasil, selalu mengelak, berkelit seolah tak ada hal serius yang terjadi. Tampaknya ibu BK rekanku mulai menyerah karena sepertinya anak ini sudah kebal dengan nasihat mengenai baik buruk atas perbuatannya dalam pandangan agama seperti yang sudah dilakukan sebelumnya.

“Kamu tahu apa yang telah Kau lakukan, anakku? Kamu sadar apa akibatnya nanti untukmu dan masa depanmu?”.

Gadis manis di hadapanku tetap bergeming. Namun jari-jemarinya yang saling meremas dan tatapan kosongnya yang mulai panik tak mampu menipuku. Jauh di lubuk hatinya mulai ada celah yang terbuka, entah luka atau kesadaran yang tersayat oleh pertanyaanku. Aku masih menunggu sepatah kata keluar dari bibir gadis manis itu yang kemudian kusebut Bunga.

Bolehkan handphonenya diambil sekarang, Bu? Kan tidak ada apa-apanya”.

Ya ampun…… Gadis yang tampak lugu ini mulai mencoba memperdayaiku.

“Tidak ada apa-apanya bagaimana? Lalu ini apa artinya?”, kusodorkan benda mungil itu di depan matanya, berharap Bunga menghentikan kebohogan dan kebodohannya. Sesaat ada riak kecil di matanya yang sempat kutangkap, tetapi kemudian mengabur seketika.

Beliau hanya teman dan saya anggap kakak saja, Bu. Bolehkan?”

“Jadi kalau hanya dianggap sebagai kakak boleh-boleh saja berkirim pesan dengan kata-kata yang vulgar dalam sms? Sementara hubungan itu diundang, diarahkan, dan dialamatkan kepadamu? Jadi boleh dan wajar-wajar saja ketika orang yang kau anggap kakak merayu meminta sari madumu begitu saja?”.

Itu kan hanya main-main, bercandaan doang, Bu. Gak serius, swear!”

Ya Allah Robbi …. Kepalaku mulai cenat-cenut. Eentah karena pengap dan panasnya udara siang itu atau karena kata-katanya yang menggedor simpul-simpul kesadaranku sebagai orang dewasa yang konon seharusnya mendidik dan membimbingnya agar terhindar dari virus pemikiran aneh seperti itu. Entah karena aku menyadari bahwa penyakit pemikiran aneh itu mulai dan bahkan telah mewabah dikalangan mereka, anak didikku, dan aku merasa kecolongan.

Keterlibatanku dalam penanganan kasus ini bukannya disengaja. Usai razia handphone yang sering dilakukan di sekolah, guru BK sering memintaku untuk sekedar mengecek isi handphone yang disinyalir menyimpan konten yang tak pantas bagi seorang siswa. Kali ini hasil razia nyaris clean and clear seandainya saja aku tidak tergelitik dengan isi pesan-pesan di sebuah handphone yang kemudian kuketahui sebagai milik Bunga. Penelusuran lebih lanjut terhadap kronologi pesan tersebut membuatku sangat terkejut, gadis ini terlibat hubungan serius dengan lelaki dewasa beristeri.

Aku tahu Bunga telah berbohong, pesan-pesan dari kontak yang diberinya nama Kumbang telah memberiku cukup bukti betapa seriusnya permasalahan yang dihadapi Bunga. Celakanya, Bunga belum atau tidak mau menyadari bahaya tersebut. Fatamorgana yang disuguhkan oleh si Kumbang sungguh telah membuai dan membutakan mata gadis berusia 14 tahun tersebut.

“Oh ya? Jadi begitu ya? Wah, ibu tidak mengerti kalau gaya bercanda kalian seperti itu.” Kucoba membuka kembali pertahanan gadis dihadapanku.

“Kalau ini maksudnya apa ya?”, sederet kalimat di layar handphone itu kembali kuperlihatkan kepada Bunga. Kalimat berisi ajakan si Kumbang untuk berkencan di suatu tempat.

Ya itu juga hanya bercanda, Bu. Gak ada maksud apa-apa, Bu!”.

Cukup sudah, aku sudah sampai di ujung muakku dan itu membuatku sedikit menggertaknya.

“Dengarkan baik-baik, seribu kali pun Kamu membantah, semua bukti itu ada di genggaman ibu. Jika ini jatuh ke tangan isterinya, dapatkah kamu bayangkan reaksinya? Kalau kamu tak takut dengan akibat dari reaksi istrinya, oke tak mengapa. Ibu tak bisa memaksamu untuk takut.”

Gadis itu mematung, wajahnya datar tanpa ekspresi.

“Pernahkah kau berpikir sejenak saja, jika bukti-bukti ini sampai ke istri Kumbang dan dikonfirmasikan kepada Kumbang, siapa yang akan didahulukan untuk dijaga perasaanya, istrimu atau kamu?”.

“Akankah dia mengatakan benar kamu orang yang disayanginya, ataukah dia hanya mengatakan bahwa kamu hanya seorang gadis bau kencur nakal yang menggodanya”.

“Beruntung kalau kamu belum berhubungan sejauh isi pesan-pesan di hpmu itu, karena jika itu terjadi ingatlah kata-kata ibu: Dia tidak akan menikahimu!”.

Bunga terlihat sedikit terkejut mungkin tak menyangka akan mendengar kata-kata yang cukup pedas dariku.

“Perbincangan hari ini sudah cukup dan HP ini tetap di sini sebelum orang tuamu datang menemui kami”, dan Bunga menolak untuk mendatangkan kedua orang tuanya.

Semakin aneh rasanya ketika Bunga bersikeras untuk mengambil sendiri handphone tersebut. Padahal peraturan di sekolah telah jelas-jelas menyatakan siswa tidak diperbolehkan membawa handphone dan jika kedapatan membawa handphone maka pengambilan harus oleh orang tua siswa yang bersangkutan.

Ketika akhirnya orang tua Bunga datang ke sekolah, kami pikir akan dapat membantu “mengembalikan” Bunga ke dunianya yang seharusnya. Namun harapan kami rupanya belum terkabul. Bunga telah berhasil menanamkan kepercayaan yang kuat pada orang tuanya bahwa tak ada hal serius yang terjadi, dan itu berhasil dengan baik. Bahkan saat bukti sms diperlihatkan pada orang tua Bunga, tak ada tanggapan yang sesuai dengan prediksi kami. Entah tidak mengerti dengan esensi bukti atau memang tidak mau tahu dan tak mau berkepanjangan. Mereka bersikeras meminta handphone dan berjanji untuk lebih memperhatikan serta mengawasi Bunga.

Jadi, bagaimana dengan nasib Bunga? Kami tetap berusaha membimbingnya. Bunga masih muda dan belum sepenuhnya mengenal dunia dengan segala tipu dayanya. Semoga Allah SWT selalu memberi kekuatan lahir bathin kepada kami agar dapat membantu Bunga dan bunga-bunga yang lain menemukan jalanNya agar dapat mewangi, memberi arti bagi diri dan lingkungannya. Mungkin tidak hari ini, tetapi hari esok jalan kehidupan masih membentang bagi mereka untuk pencarian dan harapan bagi kebahagian dunia dan akhirat.

*******************************************************************************

Aku menghela napas panjang dan berat.

Terpaksa ku-delete beberapa alinea yang sangat sensitif untuk segelintir orang pada kisah tadi. Hanya Allah SWT yang tahu kedzaliman apa yang telah terjadi dan ketidakberdayaan apa yang kami hadapi. Insya Allah tetap akan menjadi pelajaran yang berharga bagi orang-orang yang mau berpikir dan berubah ke arah yang lebih baik.

***

"Tulisan ini merupakan tugas Diklat Online P4TK Matematika".


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline