Sejak kelahirannya pada tanggal 1 Oktober 2004, di mana untuk pertama kalinya 128 anggota dilantik dan disumpah memang telah memasuki babak baru menuju tantangan. Mengapa saya katakan demikian ? Karena sejak awal terbentuknya, masih banyak tantangan yang harus dihadapi oleh lembaga yang kemudian dikenal dengan nama Dewan Perwakilan Daerah ( DPD ) ini. Tantangan terbesar yang dihadapinya yaitu tentang wewenang yang dianggap jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua setelah DPR.
Sebenarnya jika dilihat dari awal, kehadiran DPD dalam struktur perlemen nasional bukanlah hal baru. Sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1945 Pasal 2, menyatakan bahwa “MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan daerah dan utusan golongan. Utusan-utusan daerah inilah yang kemudian berganti nama menjadi Dewan Perwakilan Daerah ( DPD ), untuk selanjutnya aturan tersebut diatur dalam perundang-undangan.
Perjalanan ketatanegaraan tidak berhenti hanya sampai di situ saja, pasca reformasi juga telah mendorong sebuah perubahan yang amat signifikan. Perubahan yang dimaksud tersebut tentu saja dalam hal pemerintahan, yaitu lahirnya DPD dalam sistem parlemen nasional. Oleh karenanya Indonesia mau tidak mau menjadi penganut sistem bikameral di mana sebelumnya menganut sistem unikameral.
Sama dengan DPR, DPD juga memiliki 4 komisi ( komisi I – IV ) berdasarkan bidangnya masing-masing. Ditambah lagi dengan Panitia Perancang UU, Panitia Urusan Rumah Tangga, Badan Keuangan, Badan Kerjasama Parlemen, Badan Pengembangan Kapsitas Kelembagaan dan Badan Akuntabilitas Publik. Pembentukan berupa komisi dan badan ini merupakan perangkat untuk melengkapi kinerja DPD.
Keberadaan DPD sendiri sejak awal bukan tanpa tujuan, sebagaimana seperti lembaga lainnya, DPD juga memiliki harapan. Harapan dan tujuan dibentuknya DPD ini tidak lain adalah untuk menjaring semua aspirasi rakyat di seluruh Indonesia. Selain itu juga diharapkan DPD bisa memperkuat peranan parlemen di Indonesia. Sayangnya dalam kenyataan harapan ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, ketika DPD tidak mempunyai peranan yang sama dengan DPR. Di sinilah titik awal permasalahan itu, DPD tidak memiliki Powers of Legislations yang sama ketika dua kamar ini berkumpul untuk merumuskan UU.
Meskipun wewenang yang dimiliki sangat terbatas, namun begitu DPD harus tetap menjalankan tugas dan fungsinya dengan maksimal. Mengingat bahwa daerah sangat membutuhkan peran konkrit dalam mewujudkan pemerataan dalam bidang pembangunan. Sebagaimana DPR, DPD juga memiliki tugas dan fungsi yang sama, yaitu :
Pertama; fungsi legislasi yaitu mengajukan Rancangan Undang-undang ( RUU ) kepada DPR dan ikut membahas RUU terkait Otonomi Daerah; Hubungan Pusat dan Daerah; Pembentukan, Pemekaran dan Penggabungan Daerah; Pengelolaan Sumbaer Daya Alam dan SUmber Daya Ekonomi lainnya; Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Kedua; fungsi Pertimbangan dengan memberikan pertimbangan kepada DPR. Dan terakhir; fungsi Pengawasan yaitu dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang dan menyampaikan hasil pengawasan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Lihat saja kisruh tentang RUU Pilkada yang sampai saat ini masih hangat, menurut praktisi hukum tata negara Refly Harun menegaskan, apabila DPR menolak Perppu ( Peraturan Pemerintah Pengganti UU ) Pilkada, maka DPD harus ikut andil dalam membahas RUU pencabutan Perppu tersebut secara tripatrit ( DPR, DPD dan Pemerintah ). Jadi sekalipun wewenang DPD belum sekuat DPR, namun DPD dapat memaksimalkan perannya sesuai dengan putusan MK pada 23 Maret 2013, yang mana MK telah memberikan wewenang kepada DPD dalam membahas RUU. Namun, sebagaimana yang kita ketahui bahwa peran DPD dalam kisruh RUU Pilkada tersebut nyaris tak terdengar keterlibatannya apalagi suaranya.
Sesuai dengan fungsinya, dalam hal ini DPD bisa menyuarakan aspirasi yang berasal dari daerah pilihan masing-masing, misalnya bahwa mayoritas suara dari daerah menginginkan Pilkada secara langsung. Tentu saja suara ini juga harus murni berasal dari daerah, bahwa dengan Pilkada Langsung maka mereka dapat mengetahui pemimpinnya itu benar berasal dari daerah tempat mereka tinggal. Sehingga mereka bisa memastikan baik secara fisik maupun non fisik bahwa calon yang akan memimpin daerahnya itu adalah orang yang dikenalnya.
Bentuk-bentuk konkrit seperti inilah yang diharapkan oleh masyarakat di daerah masing-masing. Bahkan bukan cuma itu, pembangunan sektor ekonomi, budaya dan wisata juga sangat diharapkan oleh masyarakat daerah. DPD berperan penting mendorong percepatan pembangunan di daerah-daerah seluruh Indonesia, mengajak kepada seluruh pimpinan kepala daerah, termasuk kalangan swasta, hal ini disampaikan oleh Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik ( PUSKEPI ), Sofyano Zakaria. Menurutnya lagi bahwa pemimpin DPD haruslah seorang yang memiliki integritas, kapabilitas, moralitas, mumpuni dan berpengalaman serta memiliki jaringan politik yang luas, mampu mengakses elit pemerintah Pusat dan Daerah, DPR serta Partai Politik.
Hal itu didasari oleh catatan yang dimiliki oleh PUSKEPI, bahwa permasalahan mendasar di daerah hingga kini adalah keterbatasan infrastruktur yang berdampak luas terhadap pembangunan daerah dari pengembangan ekonomi lokal, pelayanan masyarakat, peningkatan Sumber Daya Manusia ( SDM ), investasi dan masalah lainnya.
Rasanya kedua contoh tersebut di atas dapat mewakili bahwa memang sampai saat ini, keberadaan DPD masih dipandang sebelah mata, bahkan bukan hanya oleh kalangan internal parlemen saja, masyarakat pemilihpun kerap tidak mendengar atau merasakan kerja nyatanya. Saya berpendapat ada satu kunci agar DPD dianggap ada, yaitu dengan menunjukkan kerja nyata dan cepat tanggap terhadap permasalahan di daerah.
Melalui tulisan ini, saya juga ingin mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu sepuluh bulan sejak dilantik, saya belum melihat kinerja dari daerah pemilihan saya DKI Jakarta. Bahkan ada beberapa teman mengatakan bagaimana DPD akan didengar, jika ada anggota DPD yang aktif di media sosial malah menghapus pemilihnya. Sepaham saya, seorang anggota DPD yang sudah terpilih tidak selayaknya bersikap seperti itu. Anggota DPD yang sudah terpilih seharusnya merangkul para pemilihnya dan bukan sebaliknya, membuang pemilihnya bahkan menjaga jarak. Bukankah pemilih akan memberikan kontribusi berupa saran dan masukan tentang permasalahan yang terjadi di daerahnya. Sehingga dengan begitu DPD dapat bertindak dengan cepat atas permasalahan yang terjadi.
Untuk kasus seperti ini saya melihat bahwa masih ada sifat egoisme dalam diri anggota DPD. Sejatinya keberadaan DPD dalam parlemen nasional yang telah membangkitkan harapan masyarakat daerah untuk menyelesaikan masalah kedaerahan sedikit pupus. Bahkan saya dapat katakan bahwa saat ini, DPD dapat mencuri hati masyarakat karena perhatian masyarakat mulai bergeser terhadap tindak tanduk dan tingkah laku DPR yang kerap memilukan. Saya juga menerapkan hukum klausal sebab akibat, bagaimana DPD dapat didengar jika DPD sendiri tidak mau mendengar suara pemilihnya.
Masa kerja 5 tahun bukanlah waktu yang panjang untuk merealisasikan aspiras masyarakat daerah. Anggota DPD beserta jajaran senatornya terus bekerja keras untuk mewujudkan semua program pembangunan. DPD harus dapat mewujudkan agenda-agenda prioritas daerah dan harus menjadi pelopor sinergi serta kerja sama antara daerah dan pusat. DPD juga dapat memaksimalkan dunia internet sebagai media untuk mensosialisasikan agenda-agenda tersebut. Bukan hal yang mustahil jika DPD dapat melaksanakan agenda tersebut dalam waktu yang masih tersisa. Dengan begitu DPD akan selalu dianggap ada dan bukan tiada lagi.
etybudiharjo.com
Sumber :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H