Lihat ke Halaman Asli

Etwar Hukunala

Freelancer I Karyawan Honorer

Stoikisme di Tengah Fenomena Bunuh Diri: Mengatasi Keputusasaan dengan Kebijaksanaan Kuno

Diperbarui: 21 Mei 2024   13:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Stoikisme di Tengah Fenomena Bunuh Diri (sumber : Adobe Stock, diolah lagi menggunakan aplikasi PicsArt)

Dikutip dari Detik.News, ada sebanyak 971 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode januari hingga oktober 2023. Data tersebut berdasarkan Data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Puskinas).

Sementara secara Global, data yang diperoleh dari WHO, menunjukan lebih dari 700.000 orang meninggal  karena bunuh diri per 28 agustus 2023.

Kasus tersebut menunjukkan tren yang mengkhawatirkan jika tidak teratasi. Fenomena ini memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga kesehatan jiwa, maupun masyarakat umum.

Fenomena bunuh diri ini terjadi dengan bermacam-macam alasan mulai dari gaangguan kesehatan mental, stress dan tarauma hingga keputusasaan terhadap hidup yang dijalani yang tidak selaras dengan apa yang diinginkan.

Di tengah fenomena atau situasi tersebut, filosofi kuno Stoikisme dapat menawarkan panduan dan strategi untuk menghadapi keputusasaan dan tekanan hidup.

Apa itu Stoikisme?

Stoikisme adalah aliran filsafat yang berasal dari Yunani kuno, didirikan oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM.

Stoikisme merupakan aliran filsafat Yunani yang digemari banyak orang saat ini. Namanya mulai terdengar usai banyak orang yang menerapkan prinsip stoikisme tersebut.

Banyak anak-anak muda membaca literatur tentang filsafat Stoa, yang dianggap sebagai alat yang berguna untuk mencapai kehidupan bahagia.

Stoikisme dianggap sebagai salah satu jenis metode terapi karena ajarannya mengarahkan seseorang untuk hidup selaras dengan alam.

Filosofi ini menekankan ketenangan, pengendalian diri dan kebajikan sebagai jalan menuju kebahagiaan sejati. Stoicisme mengajarkan bahwa kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi pada kita, tapi kita bisa mengendalikan bagaimana kita bereaksi terhadapnya atau merespon apa yang terjadi pada kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline