[caption id="attachment_228356" align="aligncenter" width="500" caption="admin/ilustrasi (shutterstock)"][/caption]
Oleh : Etty Lismiati
Sebuah mushola yang berada di sebuah tempat di Jakarta, penunjuk tempat wudhu hanya bertuliskan "ikhwan" dan yang satu lagi "ahwat", tanpa gambar. Tidak heran jika ada sekelompok remaja perempuan yang ingin berwudhu kebingungan dan berbisik dengan sesamanya, kita ini akhwan atau akhwat ya… ? Sama-sama tidak paham, mereka tentu saja mesti celingukan dulu sebelum memasuki ruangan itu.
Kepolosan pertanyaan mereka mungkin bisa membuat sebagian orang tersenyum. Sebagian lain mungkin mengernyitkan dahi, kok istilah sederhana begitu tidak dipahami remaja jaman sekarang. Bahkan yang lebih parah lagi jika sampai mempertanyakan, anak-anak itu muslim bukan sih? Lhooo…kok ?! Tapi, memang bisa saja orang lain sampai kesana pikirannya
Penunjuk kamar kecil alias toilet umum, tanpa dilengkapi gambar, tentu saja tidak memenuhi kaidah standar komunikasi di ruang publik. Faktanya tidak semua orang mengerti istilah-istilah dalam bahasa Arab. Lagi pula, Indonesia punya bahasa kesatuan, Bahasa Indonesia. Kenapa mesti menggunakan bahasa Arab, ya... ? Saya mencermati fenomena penggunaan bahasa Arab dalam komunikasi dan pergaulan ditengah masyarakat yang majemuk ini, tidak lagi sekedar menunjukkan identitas keislaman, melainkan sebuah gejala eksklusivisme kelompok. Apakah dengan menggunakan bahasa Indonesia, nilai keislamannya jadi kurang afdol? Bahasa adalah salah satu bentuk budaya. Budaya Arab tidak selalu identik dengan budaya Islam. Apakah untuk menunjukkan identitas muslim, berarti harus mengadopsi berbagai hal bercirikan Arab ?
Bukan saja bahasa Arab, begitu juga dengan bahasa Inggris. Diberbagai sudut kota, bentuk-bentuk penamaan pun, dituliskan hanya dalam bahasa Inggris saja. Seolah jika dituliskan dalam bahasa Indonesia takut terdengar kampungan. Yang paling aneh, jika bahasa Inggris diserap semaunya ala Indonesia, misalnya “check it out”, yang penulisannya menjadi “cekidot”. Entah maksudnya biar terdengar lucu atau apa.
Banyak orang yang merasa lebih keren, jika menyelipkan sepatah dua patah kata bahasa Inggris dalam obrolannya, meskipun padanannya dalam bahasa Indonesia juga ada. Sepertinya tidak ada kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia. Diakui memang, bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, namun pengunaanya di ruang publik, jangan sampai menenggelamkan penggunaan bahasa Indonesia. Mestinya tetap menjunjung tinggi penggunaan bahasa persatuan kita. Misalnya dihotel-hotel dan gedung pemerintah, alangkah baiknya jika tetap menggunakan bahsa Indonesia, yang dilengkapi juga dengan terjemahan Inggrisnya. Ini justru akan menambah khasanah pengunjung negara lain, yang menapakan kaki di negara ini terhadap budaya dan jati diri bangsa kita.
Munculnya fenomena bahasa Alay dikalangan remaja, ini juga membuat pusing pembaca generasi diatasnya. Entah dengan aturan tata bahasa dari planet mana, membaca dan memahami maksud tulisan mereka jadi agak rumit. Bagaimana tidak, dengan pengunaan tata bahasa yang jungkir balik dan kacau balau begitu. Saya pernah dibuat bingung dengan SMS dari seorang murid. Membutuhkan waktu agak lama untuk memahami isinya. Padahal hanya menyampaikan ketidak hadirannya pada satu kegiatan ektra kurikuler yang dia ikuti disekolah, yang kebetulan memang dibawah pembinaan saya. Penggunaan huruf besar kecil yang tidak pada tempatnya, pemenggalan kata yang tidak semestinya, mencampur huruf dan angka dalam sebuah kata, huff..pusing bacanya. Penggunaan bahasa alay atau bahasa slank yang menjadi bahasa gaul dikalangan remaja, memang akan memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Namun demikian benarkah tidak akan merusak tatanan bahasa Indonesia jika digunakan tanpa melihat waktu dan tempat ? Jika ini dibiarkan, suatu saat nanti mereka tidak tahu lagi bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena sudah menjadi kebiasaan, sehingga penggunaannya tidak lagi hanya terbatas dikalangan mereka, tapi juga kepada siapa saja dan dituangkan pada berbagai media. Jangan sampai terjadi, Bahasa Indonesia akan menjadi “tamu di rumah sendiri” ketika makin banyak orang asing yang justru tertarik dan berbondong-bondong untuk belajar Bahasa Indonesia, karena kita sendiri cenderung cuek dan tidak melestarikannya. Jangan sampai terjadi, generasi Indonesia berikutnya, akan belajar bahasa Indonesia dari orang asing. Jangan sampai terjadi, nasib bahasa Indonesia sebagai bagian dari budaya bangsa ini, akan tenggelam seiring dengan pesatnya kemajuan, perubahan tata nilai dan hilangnya jati diri. Maka kita jangan membiarkan anak-anak remaja merusak tatanan Bahasa Indonesia menjadi bahasa menurut aturannya sendiri. Ini menjadi tanggung jawab kita, bersama, guru dan masyarakat.
Sikap bangga terhadap Bahasa Indonesia dikalangan generasi muda, perlu terus dihidupkan. Menguasai bahasa asing di jaman ini memang suatu keniscayaan, sangat dibutuhkan sebagai modal dasar menguak dunia dan cakrawala pengetahuan. Namun bahasa Indonesia jangan sampai tenggelam dalam arus derasnya budaya asing. Bahasa Indonesia menjadi bagian dari jati diri bangsa yang berbudaya, berdaulat dan bermartabat.
Jakarta, Desember 2012
Salam Hangat dan Semangat
Etty Lismiati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H