Dua tahun, bukan waktu yang lama untuk terjadinya perubahan dan pembangunan di suatu daerah. Di sudut Kalimantan bagian selatan ini, ketika melihat di daerah sekitar tempat tinggal orang tuaku telah banyak didirikan tempat-tempat nongkrong anak muda, agak terkejut sebab perubahan yang terjadi lumayan cepat semenjak aku hijrah ke kota pelajar. Cafe-cafe, rumah makan, wisata kuliner telah berjamur di kawasan terutama daerah kampus dengan segmentasi mahasiswa. Dari kacamataku, berbagai cafe yang ada tidaklah memiliki keistimewaan tersediri, berbeda dengan yang ada di Jogja. Aku kurang merasakan seninya dari desain interior atau bahkan konsepnya dan terlihat ini seperti bisnis musiman, terbukti ketika ada beberapa cafe yang kemudian gulung tikar dan menghilang. Bahkan cafe-cafe didirikan di ruko-ruko yang bersebelahan dengan interior dan desain yang juga tidak jauh beda.
Sebenarnya persebaran informasi mengenai keberadaan cafe-cafe ini paling gencar adalah lewat media sosial semacam path dan instagram. Anak muda menjadi lebih tinggi prestise nya ketika pernah atau sering nongkrong di tempat tersebut. Terkadang banyak anak muda yang lebih mengedepankan gengsi sehingga tidak berpikir panjang tentang apa manfaat dari setiap tindakan.
Kala itu aku diajak seorang temanku untuk berbincang mengenai kelanjutan rencana semacam project kecil kami, dan saat itu diajaklah ke Taher Square lokasinya dekat jembatan Merdeka, Siring masjid Sabilal Muhtadin, Banjarmasin. Tak menyangka juga tempat semacam foodcourt itu dipenuhi oleh anak-anak muda di malam bulan Ramadhan yang aku amati hanya terlihat aktivitas ngobrol, bermain kartu dan intinya hanya bersenang-senang. Sebenarnya aku juga sangat prihatin dan merasa miris akan hal seperti ini. Dalam pandanganku, tak terlihat apa esensi dari pembangunan semacam ini, selain sebagai tempat kumpul atau nonton bareng pertandingan sepak bola. Namun, ada yang ku khawatirkan dengan semakin terfasilitasinya untuk bersenang-senang dan tempat seperti ini akan menjadi budaya hedonism bagi anak muda. Aku tak ingin merasakan lambat laun seperti hilang rasa religiusnya kota ini.
Kekhawatiranku adalah pada latahnya anak-anak muda terhadap budaya lain dan lupa esensi budaya sendiri. Hanya ikut-ikutan dan mengedepankan gengsi agar tetap terjaga eksistensi dirinya. Sebenarnya masih banyak sekali cara untuk mengaktualisasikan diri dengan hal yang lebih positif, seperti mendirikan komunitas anak muda yang peduli dengan budaya masyarakat Banjar (terutama budaya sungai), komunitas yang peduli lingkungan sungai, ataupun komunitas yang peduli dengan anak-anak yang putus sekolah di pelosok Kalimantan yang sulit tersentuh. Aku sangat terinspirasi dari pergerakan dan kontribusi anak-anak muda Jogja yang begitu banyak mendirikan komunitas untuk peduli terhadap lingkungan sekitar dan turut membantu pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan sosial. Memang semua tak bisa disamaratakan, hanya saja inspirasi dapat datang dari mana saja dan besar sekali harapanku agar Banua tercinta ini dapat terjaga budaya dan peradabannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H