Sebelumnya maaf, foto-foto yang saya hadirkan tidak memanjakan mata para pembaca sekalian. Bepergian ke salah satu pasar tradisional di sudut kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, di pagi ini hanya berbekal kamera mobile phone ala kadarnya. Beberapa hal unik dapat kita tangkap dari setiap interaksi yang terjadi di sekitar kita, iya asalkan kita peka.
Banjarmasin merupakan ibukota dari provinsi Kalimantan Selatan yang memang sebagian wilayahnya terdiri dari rawa-rawa yang telah padat dihuni dan akan kita temui banyak sekali anak sungai. Kota Banjarmasin dan sebagian wilayah Kalimantan Tengah dibelah oleh sungai besar yaitu sungai Barito. Hanya beberapa kilometer jaraknya pasar tradisional ini dengan sungai Barito. Tetapi ini bukanlah pasar Terapung yang sangat terkenal di seantero nusantara bahkan dunia. Nanti, semoga saya bisa menyempatkan ke sana dan mereview dengan sudut pandang yang berbeda.
Sungai, Denyut Jantung Perekonomian
Ini merupakan penampakan anak sungai dari sungai Barito yang membelah daratan sekitar yang sudah padat penduduk. Lebar anak sungai ini kira-kira hanya 5 meter. Pada foto yang tampak di atas adalah perahu yan biasa disebut oleh orang Banjar dengan nama "Kelotok". Kelotok digunakan oleh sebagian masyarakat yang beradagang di pasar Tradisional sebagai alat transportasi pribadi yang dapat mengangkut barang-barang dagangannya semacam sayur-sayuran, buah-buahan, beras dan sebagainya.
Acil (Sapaan yang setara dengan tante atau nyonya penjual) sedang bertransaksi dengan pembelinya
Pasar tradisional ini tergolong lengkap, mulai dari pangan-sandang-papan, ada di sini. Berbagai macam karakter orang yang migran atau penduduk asli kental dirasakan di sini. Acil, adalah sapaan untuk penjual wanita. Foto di atas merupakan transaksi antara Acil penjual buah-buahan dan pembeli yang sedang bedungkung atau betungging (berjongkok).
Amang Bejual Semangka (Paman Penjual Buah Semangka)
Selain Acil, juga ada Paman, sebutan pedagang laki-laki. Beberapa potong buah semangka itu sisa dari buah yang dijual hari ini. Hanya mencari sedikit lapak yang ada dan menempel pada kios pedagang lain sudah dapat menjadi lahan untuk mengisi pundi-pundi ekonomi keluarga.
Hal-hal yang bernuansa tradisional masih kental dirasakan. Bukan karena belum tersentuh pembangunan (bukan juga karena ini Kalimantan), tetapi semua itu tergantung budaya masyarakat yang mempertahankan. Di luar sana sudah banyak swalayan dan pasar modern raksasa yang berdiri di pusat kota. Yah semoga yang tradisional tidak tergerus oleh modernisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H