Lihat ke Halaman Asli

Tuntut Kenaikan Tunjangan, PNS Panitera Pengadilan Mogok Kerja

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika beberapa waktu yang lalu negara ini dihebohkan oleh aksi mogok para dokter, sebagai aksi solidaritas, maka pada minggu ini masyarakat kembali dihebohkan terkait aksi panitera pengadilan yang melakukan aksi mogok kerja.

Aparatur pemerintah ini melakukan mogok kerja sebagai bentuk protes karena adanya perbedaan tunjangan yang didapat mereka dengan hakim dan sangat njomplang. Alasan yang disampaikan, mereka yang terlibat langsung dari awal hingga selesainya suatu kasus namun tunjangan yang diterima mereka kurang memadai dan lebih rendah dibanding hakim. Tunjangan paling rendah panitera pengadilan sebesar 300 ribu rupiah, sedangkan seorang hakim paling rendah menerima 8,5 juta rupiah.

Selain menuntut perbaikan kesejahteraan melalui kenaikan tunjangan, melalui wadah Ikatan Panitera dan Sekretaris Pengadilan Indonesia (IPASPI), mereka juga berharap agar Mahkamah Agung (MA) memenuhi tiga tuntutan lain mereka yaitu realisasi kenaikan tunjangan remunerasi pegawai MA, perbaikan promosi dan jenjang karir panitera pengganti dan juru sita, serta mendesak Komisi Yudisial (KY) dan MA untuk segera memberikan ruang dan peluang pada profesional hukum, panitera dan pegawai pengadilan seluruh Indonesia untuk dapat berkarir sebagai Hakim Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha sesuai amanat Pasal 14A UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13 dan 13A UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama serta Pasal 14 dan 14A UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Aksi mogok itu sudah dimulai sejak kemarin. Banyak persidangan di berbagai Pengadilan Negeri (PN) tidak terselenggara karena aksi mogok itu. Imbasnya? Hak masyarakat untuk mendapatkan layanan terganggu dan hak-hak keadilan juga terbengkalai. Ini menyebabkan prinsip peradilan yang cepat, berbiaya murah dan sederhana tidak dapat terlaksana. Aksi ini sudah meluas dan melibatkan setidaknya 44 pengadilan diberbagai daerah.

Para panitera ini lupa bahwa ketika mereka dilantik menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), ada sumpah/janji yang diucapkan. Berikut Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1975:

Bahwa saya, untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah;
Bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab;
Bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan
martabat Pegawai Negeri serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan Negara dari pada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan;
Bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan;
Bahwa saya akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara.

Dalam salah satu bait diatas, PNS harus melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian. Terlepas dari perbedaan tunjangan, seharusnya para panitera ini tetap melakukan tugas mereka menyelenggarakan persidangan dengan penuh tanggung jawab dan pengabdian.

Selain itu, MA tempat mereka bernaung dan bertugas juga telah mengeluarkan code of conduct yang harus dipatuhi sesuai Surat Keputusan Sekretaris MA Nomor 008-A/SEK/SK/I/2012. Dalam salah satu pasal code of conduct tersebut disebutkan bahwa pegawai MA memiliki kewajiban untuk melaksanakan perintah kedinasan yang diberikan atasan yang berwenang, menaati ketentuan jam kerja, menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik, menjaga nama baik korps pegawai dan institusi MA.

Selain kewajiban tersebut, pegawai MA juga dilarang untuk melakukan tindakan yang dapat berakibat merugikan stake-holder MA dan juga dilarang terlibat dalam kegiatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan atau kesusilaan.

Ini tentunya akan menjadi preseden yang buruk dalam proses menyampaikan pendapat dan tuntutan dinegara ini. Bayangkan saja, jika kemudian guru atau bahkan anggota TNI/POLRI melakukan aksi mogok untuk menuntut hal sama, perbaikan tunjangan, bisa dipastikan masyarakat umumlah yang mengalami dampaknya.

Para panitera ini lupa belajar dari peristiwa yang terjadi ketika para dokter melakukan aksi mogok beberapa waktu lalu. Karena ingin menunjukkan solidaritas pada rekan seprofesi, para dokter melakukan mogok kerja. Hasilnya? Pelayanan kesehatan dibeberapa daerah terganggu. Yang mengalami, masyarakat umum.

Seharusnya para panitera ini bisa mencari cara atau jalan lain yang lebih elegan dalam menyampaikan aspirasi atau tuntutan kepada tempat mereka bernaung. Bukan melalui aksi mogok seperti ini. Apalagi mereka adalah pihak yang paling mengerti dan paham akan peraturan yang berlaku.

Pemerintah sendiri harus segera mencari cara dan jalan untuk menyelesaikan aksi mogok para panitera ini. Sehingga prinsip peradilan dapat dilaksanakan sesuai Undang-Undang yang berlaku.

Selain itu, pemerintah juga harus mulai berpikir langkah seperti apa yang harus dilakukan oleh PNS jika ingin mengajukan suatu tuntutan atau protes, agar hal ini tidak terulang lagi di masa-masa mendatang.

Salam

17042014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline