PENDIDIKAN & PELATIHAN
Mitigasi harus mengandung rencana untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan oleh masyarakat luas, pemerintah lokal, dan para pembuat kebijakan tentang sifat-sifat letusan gunungapi, kerusakan dan bahaya yang disebabkan dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi bahaya. Pendidikan publik yang dilaksanakan akan efektif bila ikut memperhitungkan bahasa dan budaya lokal, adat-istiadat, praktek keagamaan, hubungan masyarakat dengan kekuasaan, dan pengalaman letusan gunungapi masa lalu. Operator sistem peringatan, manager bencana alam, dan pembuat kebijakan harus memenuhi suatu tingkat pendidikan dan pemahaman terhadap bahaya letusan gunungapi dan lahar.
Dalam konteks G. Merapi, pendidikan dan pelatihan di masyarakat dilakukan melalui wajib latih. Terbitnya Undang-Udang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah memunculkan harapan kemajuan penanggulangan bencana. Undang-Undang itu secara eksplisit mengatur hak perlindungan bagi masyarakat, tapi tidak membahas kewajiban masyarakat. Hal in menjadi penting karena penyuluhan-penyuluhan selama ini tidak bisa diukur / diketahui hasilnya. Berkenaan dengn hal tersebut diperlukan suatu kegiatan pelatihan yang hasilnya dapat terukur. Tujuan umum jangka panjang program ini adalah membentuk budaya masyarakat yang berketahanan terhadap bencana letusan gunungapi. Oleh karena itu maka program ini bersifat wajib wajib diikuti oleh masyarakat kawasan rawan bencana, sehingga disebut sebagai Wajib Latih Penanggulangan Bencana Gunungapi.
Penyelenggaraan WLPB Gunungaapi atas dasar kemanusiaan, keselamatan manusia, tanpa pamrih. Namun demikian, penyelenggaraan WLPB haruslah terencana, sistematik dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penyelenggaraannya, WLPB tidak membedakan suku, agama, ras, antar golongan dan jenis kelamin. WLPB Gunungapi 2008 disasarkan kepada 28 desa KRB 3 di 4 kabupaten di sekitar G. Merapi. Pelatihan diberikan kepada setiap individu yang telah dewasa dan tinggal di kawasan rawan bencana, berumur 17 hingga 50 tahun atau sudah menikah, Sehat secara rohani, mendapat ijin dari suami/isteri.
WLPB Gunungapi tahun 2008-2009 dilakukan oleh Forum Merapi bekerjasama dengan Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional (PSMB UPN) Veteran Yogyakarta, Paguyuban Siaga (PASAG) Merapi, dan UNICEF. sebagai konsultan program, Paguyuban Siaga Merapi sebagai fasilitator lokal serta dengan dukungan UNICEF. Selanjutnya WLPB dapat diselenggarakan oleh lembaga pemerintah (desa-kecamatan-kabupaten dst) dan atau lembaga non-pemerintah atas sepengetahuan dan koordinasi dengan pemerintah daerah setempat. Dana penyelenggaraan WLPB berasal dari APBN/APBD atau sumber lain yang tidak mengikat. Fasilitator WLPB bisa berasal dari lembaga pemerintah maupun non-pemerintah yang berkompeten di bidangnya atau setidaknya telah memperoleh pelatihan kemampuan fasilitasi secara terukur
Kegiatan WLPB Gunungapi tahun 2008-2009 telah dilaksanakan terhadap 29 kali pelatihan untuk dusun, di 9 kecamatan dalam 4 kabupaten. Peserta latih berjumlah 941 orang, terdiri dari 147 perempuan dan 794 laki-laki. Kegiatan ini difasilitasi oleh 52 fasilitator multipihak, dari PPTK, pemerintah kabupaten dan terutama PASAG Merapi serta PSMB UPN. Rangkaian kegiatan tersebut terdiri dari (1) Lokakarya Penyusunan Modul WLPB Gunungapi, (2) Ujicoba Modul WLPB Gunungapi, (3) Pelatihan Fasilitator WLPB Gunungapi serta (4) Pelaksanaan WLPB Gunungapi untuk kabupaten Klaten – Boyolali – Magelang - Sleman. WLPB Gunungapi dilaksanakan selama 3 hari. Pada hari pertama peserta belajar bersama tentang mengenal gunungapi dan ancamannya, menanggulangi bencana, mengurangi risiko bencana letusan gunungapi. Hari kedua berupa menyusun protap desa, serta melakukan gladi posko. Hari ketiga melakukan simulasi (gladi lapang). Kegiatan ini berdampak positif dan teruji dalam erupsi G Merapi 2010, dengan tidak adanya korban dari keluarga peserta WLPB Gunungapi.
PENGELOAAN RUANG.
Sebagai konsekuensi pertumbuhan penduduk global, pada daerah rawan letusan gunungapi dan pelaharan juga terjadi perkembangan penduduk dengan cepat. Kawasan tinggian di kawasan rawan letusan gunungapi cenderung menjadi daerah wisata yang padat penduduk. Daerah rendahan rawan lahar yang semula lahan pertanian telah berubah menjadi pemukiman. Karena tidak mungkin untuk menghentikan pembangunan, sebaiknya dilakukan pencegahan pembangunan fasilitas umum pada zona rawan bencana letusan gunungapi dan lahar. Fasilitas umum seperti sekolah, pos polisi, rumah sakit dan lainnya dibangun di kawasan aman yang memiliki arti penting bagi masyarakat apabila suatu saat diperlukan. Sebagai tambahan, hotel dan penginapan juga perlu ditempatkan pada lokasi yang sesuai dengan prosedur evakuasi untuk memberikan keamanan kepada para tamunya.
Dalam konteks G. Merapi, erupsi 2010 nampaknya memaksa kita untuk melihat kembali tata ruang yang sudah ada. Usulan ini menekankan format pengelolaan kawasan G. Merapi dalam perspektif manajemen bencana dalam konteks otonomi daerah yang berpihak pada komunitas tempatan. Pengelolaan yang diusulkan berdasarkan pertimbangan fungsi utama sebagai kawasan rawan bencana, sesuai dengan tingkat kerawanan letusan gunungapi. Pengelolaan dilakukan dengan zona-zona rawan bencana, penyangga non budidaya, penyangga budidaya, dan penyangga budaya.
Zona Rawan Bencana mempunyai limitasi yang tinggi bagi masyarakat. Cagar alam, dan perlindungan setempat dapat dikembangkan di zona ini. Zona Penyangga
Non Budidaya memberikan kendala tinggi bagi masyarakat. Hutan lindung, perlindungan setempat, hutan negara, cagar alam, dan pendukung peternakan dapat dikembangkan di zona ini. Masyarakat secara terbatas dapat melakukan aktifitas di zona ini. Misalnya mencari rumput.
Zona Penyangga Budidaya memiliki kendala sedang bagi masyarakat. Hutan lindung, cagar alam, perlindungan setempat, hutan negara, hutan wisata, pendukung peternakan, dan pariwisata dapat dikembangkan disini. Masyarakat secara terbatas dapat melakukan aktifitas di zona ini; antara lain tumpangsari hutan heterogen dengan perkebunan tanpa olah lahan. Kawasan awan panas hasil erupsi 2010 diusulkan masuk ke dalam zona ini.
Zona Penyangga Budaya memiliki kendala rendah bagi masyarakat. Hutan rakyat, perlindungan setempat, hutan negara, hutan wisata, pendukung pertanian, peternakan, pariwisata dan pertambangan dapat dikembangkan di zona ini. Masyarakat dapat melakukan aktifitas sosial, ekonomi maupun budaya di zona ini dengan lebih leluasa.
Pengelolaan kawasan berdasarkan pertimbangan fungsi ketahanan air dan tanah, serta fungsi budidaya dipilahkan dalam kawasan-kawasan hutan lindung, cagar alam, hutan wisata alam, perlindungan setempat, hutan rakyat, hutan negara, pertanian, pariwisata, pertambangan, dan permukiman
Kawasan Hutan Lindung merupakan hutan tutupan vegetasi tetap untuk mencegah terjadinya erosi, bencana banjir, sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologi tanah di kawasan hutan lindung sehingga ketersediaan unsur hara tanah, air tanah, dan air permukaan selalu dapat terjamin. Kawasan Cagar Alam (Plawangan) telah ditetapkan karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Kawasan Taman Wisata Alam (Turgo-Plawangan) telah ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata alam.
Kawasan Perlindungan Setempat berupa kawasan sempadan sungai dan kawasan di sekitar mata air. Sempadan sungai dan air adalah kawasan di sekitar sungai dan mata air yang mempunyai manfaat untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai dan mata air. Pengelolaan bersama dilakukan agar tidak terjadi alih kelola sumberdaya air dari masyarakat dengan alasan apapun.
Kawasan Hutan Negara adalah hutan alam maupun produksi yang dikelola BUMN bersama masyarakat, dengan memperhatikan asas konservasi tanah dan air, yang diupayakan mampu mencegah terjadinya erosi, sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologi tanah. Bila sepenuhnya dikelola oleh rakyat, maka merupakan Kawasan Hutan Rakyat. Kawasan yang merupakan hasil endapan awan panas hasil erupsi 2010 di sepanjang Kali Gendol disarankan dikembangkan menjadi kawasan hutan rakyat.
Kawasan Pertanian adalah areal lahan milik masyarakat atau negara yang keadaan dan sifat fisiknya sesuai bagi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. Kawasan ini berupa areal pertanian dengan sistem pengelolaan lahan secara ekologis dengan kegiatan utama pertanian tanaman pangan, tanaman obat dan dapat dikombinasikan dengan perkebunan tanaman hortikultura dan atau usaha tani peternakan.
Kawasan Pariwisata adalah kawasan wisata alam pegunungan dan budaya lokal yang tetap menjamin kenyamanan dan keamanan masyarakat serta serasi dengan lingkungan alamnya. Wisata yang dikembangkan yang berbasis pada kapasitas lokal antara lain wisata alam, wisata budaya, wisata bencana, dan wisata pertemuan, wisata ilmiah. Kawasan jejak erupsi merupakan obyek wisata yang menarik dan perlu dikonservasi.