Lihat ke Halaman Asli

Saepudin Zuhri

Seorang pendidik

Sibuk Pamer, tapi Kangen

Diperbarui: 22 Mei 2020   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Sudah menjadi karakter manusia, ingin tampil yang terbaik. Walaupun seringkali terjatuh pada sikap berlebihan, bahkan pamer yang menjengkelkan. Karena itu jangan heran jika di masa pandemi, sebagian orang malah sibuk hunting baju baru.

Lebaran seringkali menjadi ajang pencitraan agar terlihat hebat. Sehingga, saat silaturahmi keluarga. Biasanya tidak sepi dari kegiatan pamer baju bermerk, kendaraan baru dan barang baru lainnya. Semuanya bermula dari keinginan untuk disebut sukses diperantauan dan dipekerjaan.

Saat tiba di rumah orangtua. Kemudian saling bermaafan dan menikamati masakan lebaran orangtua. Maka saya yang memang tidak mampu pamer, harus bersiap untuk mendengar cerita barang baru yang diungkapkan saudara. Terkadang lucu juga saat mendengar mereka malah seperti sales motor atau mobil yang menerangkan hebatnya kendaraan baru itu.

Lain lagi, jika soal pakaian baru. Maka pembicaan soal harganya yang mahal, model baru, dipakai artis, sedang trend, langka, di belinya berdesakan, termasuk keberuntungan masih ada stok. Harus saya dengar seksama, walau sepertinya tidak terlalu penting. Antusias mereka bercerita tentang barang baru sebenarnya seringkali membuat saya ingin menghindar, tapi kapan lagi mendengar cerita saudara. Walaupun intinya sedang pamer harta.

Cerita pamer ternyata juga tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa. Anak-anak kecil juga ikut pamer mainan, sambil membandingkan harganya, tempat belinya juga kehebatan fungsinya. Untung anak saya tidak rendah diri, karena mainan mereka masih mainan yang lama. Menariknya, diantara mereka malah bertukar mainan. Mainan yang baru di mainkan anak-anak saya, sedangkan anak saudara malah memainkan mainan lama.

Namun, cerita pamer biasanya tidak berlangsung lama. Karena mereka juga agak bosan dan ada rasa malu jika terus saja seperti sedang pameran. Bersikap seperti para penjual barang yang ingin meyakinkan pembelinya.

Biasanya kemudian pembicaraan berubah menjadi cerita tentang puasa di rantau, mudik, kemacetan. Topik ini membuat saya bersemangat, dan sering ikut berkomentar. Terkadang canda dan tawa menambah hangat pembicaraan.

Pembicaraan persaudaraan yang penuh kehangatan, longgar dan tanpa basa-basi itu yang selalu dirindukan. Apalagi jika kemudian mengenang kembali masa kecil, saat bermain bersama tanpa teknologi seperti sekarang. Cerita bermain saat anak-anak, tetap menjadi kenangan yang selalu saja dibuka saat berkumpul bersilaturahmi lebaran.

Ada saja cerita masa kecil yang kemudian dihubungkan dengan masa sekarang yang membuat kami tertawa dan saling ledek. Mandi bareng lah, puasa tapi wudu sambil minum lah, dan masih banyak lagi.

Walau kini tetap dapat bercerita lewat WA dan Zoom, tetap saja kehangatan pelukan, tersentuhnya tangan persaudaraan, saling memandang dan menyadari sudah beruban disertai ledekan. Tetap akan dirindukan, karena baru sekarang tidak mudik ke rumah orangtua. Walau mereka terkadang pamer, tapi tetap kangen untuk berjumpa secara langsung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline