Lihat ke Halaman Asli

Saepudin Zuhri

Seorang pendidik

Memaafkan dan Menghapus Kenangan

Diperbarui: 22 Mei 2020   09:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Ada tiga kata yang diajarkan kakek saya agar selalu hadir setiap berkomunikasi dengan siapapun. Tiga kata itu adalah terima kasih, tolong dan maaf. Kata itu semula berbahasa sunda, hatur nuhun, punten dan hapunten.

Kata maaf, akan dihadirkan saat ada hal yang memang mengganjal di hati, atau meyakini ada kesalahan yang diperbuat. Sejak kecil saya diajarkan untuk meminta maaf segera kepada siapapun. Tanpa harus menunggu momen tertentu termasuk lebaran.

Lebaran menjadi momen istimewa saling memaafkan, karena dilakukan secara serentak dan bersama hampir di seluruh kalangan.

Semula meminta maaf hanya sekedar ucapan saja. Akibatnya seringkali masih menyisakan kedongkolan, kenangan yang menyakitkan. Walaupun secara lisan sudah memaafkan. Namun, masih ada ganjalan di hati. Bahkan saat berjumpa kembali tetap masih ada kerenggahan di hati.

Memaafkan sekedar lisan itu, bertahan hingga usia SMP. Sebelum saya mendapatkan pencerahan tentang makna memaafkan.

Menginjak usia SMA, beruntung saya berjumpa dengan para guru, yang memberi tahu dan mengamalkan pemaafan dengan ketulusan.

Bagaimana tidak, ada salah satu teman yang sering sekali membuatnya kesal dengan kejahilan dan sikapnya yang keterlaluan. Namun, guru saya tersebut tetap memaafkan, sikapnya tidak berubah walau pasti agak tersakiti. Bahkan beliau tetap memanggil siswanya itu dengan sebutan bageur, baik.

Sikapnya baru saya pahami, saat beliau menjelaskan bahwa memaafkan itu harusnya disertai menghapuskan kenangan yang menyakitkan. Dan dilanjutkan dengan berbuat baik pada orang yang kita maafkan.

Terus terang itu tidak mudah bagi saya. Namun akhirnya saya menemukan jawaban, jika memang masih terlintas kenangan yang mengganggu dari orang yang pernah menyakiti. Maka saya akan adukan semua pada Alloh Swt. Agar Yang Maha Pemaaf menghapuskan ingatan yang mengakitkan itu dan menggantinya dengan kelapangan hati.

Kini, saat saya sudah menjadi pendidik, dengan tingkah polah peserta didik yang beragam. Saya belajar untuk memaafkan dan meminta maaf kepada mereka tak sekedar ucapan. Begitu juga kepada orangtua, anak dan istri, juga seluruh rekan kerja dan tetangga. Saya harus meminta maaf serta memaafkan disertai upaya untuk melupakan semua kenangan yang menggoreskan luka.

Idul Fitri, menjadi momen istimewa, karena dapat dipastikan, banyak dari sikap saya yang disadari ataupun tidak. Menyakiti dan membuat oranglain terluka. Sehingga pada momen tersebut kami sekeluarga saling bermaafan. Kemudian berlanjut ke tetangga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline