Lihat ke Halaman Asli

Saepudin Zuhri

Seorang pendidik

Sibuk Berbagi, Bukan Panik Membeli

Diperbarui: 2 Mei 2020   08:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Sebagaimana Ramadan ditahun sebelumnya, di awal Ramadan, pusat-pusat belanja menjadi padat. Penuh dan berjejalan manusia, yang sedang menyiapkan berbagai kebutuhannya dalam menghadapi puasa yang akan di jalaninya. Kondisi yang sebenarnya akan menjauhkan diri dari  nilai-nilai puasa itu sendiri. Bukankan makna awal puasa adalah menahan diri? Namun mengapa syahwat belanja dan berlebihan justru di umbar.

Di tengah wabah yang masih dikendalikan, ramadan tahun ini juga tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Penuhnya pusat-pusat belanja masih tetap terlihat, tetapi kondisinya semakin memprihatinkan. Jika di tahun sebelumnya, belum dikenal istilah panic buying, maka ramadan sekarang istilah itu begitu populer. 

Istilah yang membuat miris, karena di tengah akibat wabah yang menyebabkan sebagian besar masyarakat menurun kondisi ekonominya. Justru ada sekelompok orang, yang membeli bahan makanan dan kebutuhan hidupnya dengan sangat berlebihan. Jika tidak mau disebut rakus.

Sikap tegas dan cepat pemerintah dalam mengatasai panic baying agar tidak menjadi kerusuhan sosial, patut kita apresiasi. Sehingga berlebihan dalam belanja itu, tidak menjadi wabah. 

Selain peran serta berbagai pihak. Hal ini dapat ditemui di beberapa pusat belanja yang membatasai pembelian kebutuhan pokok. Meskipun tetap saja dengan berbagai cara. Mereka yang ketakutan itu masih tetap memuaskan keinginannya dalam berbelanja, dengan bergantian diantara anggota keluarga untuk menumpuk makanan.

Panic buying tentu saja hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berlebih, saat mereka ketakutan tidak ada makanan. Boleh jadi, disekeliling mereka ada orang yang bukan lagi takut tidak ada makanan. Mereka justru sudah berhari-hari menahan lapar karena tidak ada makanan. 

Mereka yang hanya menyaksikan dari jauh, dengan hati yang terluka. Lebih menyakitkannya, tumpukan makanan yang semula disiapkan, seringkali terbuang karena kadaluarsa, atau perut yang sudah tidak muat. Makanan menjadi mubazir, padahal di sudut lain ada sosok insan yang sedang menahan sakitnya lapar.

Sudah selayaknya kita tersadar bahwa sikap berlebihan dalam menimbun sesuatu selain melukai oranglain juga merugikan diri sendiri. Tengoklah nasib para penimbun masker medis, hand sanitizer, serta alat pelindung diri lainnya. Kini, dengan keuntungan yang telah didapatkan. Kerugianpun harus mereka telan karena harga masker medis menurun tajam. 

Banyak pihak yang begitu kesal terhadap sikap mereka, yang hanya memikirkan keuntungan di tengah penderitaan oranglain. Bahkan, yang membuat miris ulah mereka menyebabkan para pahlawan medis begitu kesulitan dalam melindungi diri karena peralatan yang langka dan mahal. Bahkan disinyalir beberapa tenaga kesehatan gugur salah satunya selain karena memang sudah ketentuan Tuhan, juga karena keterbatasan pelindung diri yang digunakan.

Daripada melakukan panic buying, sibuk menimbun makanan, lebih indah dan dapat dipastikan lebih membahagiakan jika lebih sibuk untuk berbagi. Ramadan adalah bulan sedekah, bulan berbagi kebahagiaan. Daripada kemudian makanan menjadi kadaluarsa dan terbuang percuma, lebih baik dan mengundang cinta Ilahi. Jika makanan itu diberikan pada yang membutuhkan. Yakinlah, bahwa senyum kebahagiaan mereka yang sangat membutuhkan itu, pasti akan membuat kita semakin bahagia. Mari berbagi dan raih cinta Ilahi di bulan suci.

9 Ramadan 1441 H

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline