Banyak sekali masalah yang dihadapi oleh setiap tenaga kerja di negara ini; mulai dari upah, kesejahteraan kerja, kelayakan keselamatan kerja, sampai urusan jam kerja. Setiap tenaga kerja diwajibkan untuk mengikuti peraturan yang berlaku di tempat mereka bekerja; walaupun peraturan tersebut melanggar peraturan ketenagakerjaan yang telah tertulis dalam undang-undang tenaga kerja Republik Indonesia.
Salah satu yang menjadi dilema bagi setiap tenaga kerja di negara ini adalah urusan jam kerja atau yang dikenal dengan nama daily working hours. Banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia yang katanya menyepakati tentang apa yang tertulis di undang-undang ketenagakerjaan Republik Indonesia dan bahkan menjalankannya dengan benar sesuai dengan koridor undang-undang ketenagakerjaan. Pada kenyataannya, mereka tidak menaatinya terutama tentang jam kerja karyawan.
Berdasarkan kepada UU Ketenagakerjaan; Pasal 81 angka 21 UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengubah Pasal 77 ayat 1 dan 2 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan PP No. 35 tahun 2021; jam kerja telah menjadi komponen penting dalam menentukan apakah karyawan tersebut overworked atau tidak. Jam kerja dibagi menjadi dua :
7 jam/hari atau 40 jam/minggu; untuk 6 hari kerja dalam seminggu.
8 jam/hari atau 40 jam/minggu; untuk 5 hari kerja dalam seminggu.
Pada kenyataannya, banyak sekali perusahaan yang "mewajibkan" untuk setiap karyawannya bekerja overtime dan tidak diberikan tunjangan apapun dengan alasan bahwa itu merupakan bagian dari tanggung jawab pekerjaannya dan merupakan bentuk loyalitas yang harus diberikan oleh perusahaan tempat mereka bekerja.
Ketika ada karyawan yang benar-benar mengacu kepada peraturan pemerintah yang mengatur tentang jam kerja, maka karyawan tersebut akan dicap sebagai "pemberontak" dan "tidak setia" kepada perusahaan tempat mereka bekerja. Bagi para karyawan yang berusaha untuk membuka suara kepada perusahaan tentang hal ini, maka yang bersangkutan akan diperlakukan yang membuat dirinya tidak nyaman dimana tujuan utamanya adalah supaya yang bersangkutan"bersedia dengan ikhlas" untuk mengundurkan diri.
Di sinilah dilema yang dihadapi oleh setiap tenaga kerja di Indonesia tanpa terkecuali. Ketika para karyawan berusaha untuk bersuara, maka mereka akan dipaksa untuk tutup mulut dengan ancaman pemecatan, PHK, ataupun pengunduran diri. Bekerja sesuai dengan peraturan pemerintah maka akan dianggap dan dicap sebagai karyawan yang terlalu perhitungan kepada waktu kerja yang dimana menunjukkan tidak adanya loyalitasnya lagi kepada perusahaan tempat dia bekerja.
Sama juga ketika karyawan harus menyelesaikan pekerjaannya yang dimana sudah melebihi waktu kerja hariannya ( 7 jam/ hari atau 8 jam/hari ) mereka tidak mendapatkan namanya tunjangan lembur dengan alasan bahwa gaji karyawan tersebut sudah cukup tinggi dimana gajinya merupakan all-in-salary, dan ada juga perusahaan yang beralasan bahwa lembur merupakan bukti loyalitas yang bersangkutan kepada perusahaan tempat dia bekerja dan tidak perlu untuk ditambahkan tunjangan lembur.
Pada kenyataannya, banyak karyawan yang berusaha untuk ambil lembur karena tunjangan lembur ( untuk karyawan dengan standar gaji tertentu ) dan ada juga yang tahu bahwa tidak mendapat tunjangan lembur tetapi tetap mau untuk mengambil kerja lembur semata-mata hanya untuk menunjukkan loyalitasnya kepada perusahaan dimana bertujuan supaya yang bersangkutan tidak tersingkir ketika nanti ada pengurangan tenaga kerja di perusahaan tempat dia bekerja.
Ketika yang bersangkutan berpatokan kepada lembur untuk menunjukkan loyalitasnya, maka secara pelan tapi pasti performa dan kualitas kerjanya pun akan menurun dimana tetap akan menjadi sorotan bagi perusahaan tempat dia bekerja yang dianggap bahwa yang bersangkutan sudah mulai tidak produktif lagi yang dimana nanti akan menjadi "target" ketika terjadi pengurangan karyawan ataupun ketika dirasa yang bersangkutan sudah tidak bisa memberikan kontribusi terbaiknya bagi perusahaan tempat dia bekerja saat itu.