Pendidikan adalah asumsi penting untuk setiap manusia. Maka ketika manusia tidak mendapatkan asumsi tersebut, mereka akan buta akan banyaknya pengetahuan yang bercabang yang bersifat abstrak itu. Percaya atau tidak ini adalah fakta, bahwa dengan ilmu apapun bisa dipecahkan. Manusia berhak mendapatkan ilmu-ilmu yang melimpah ini, ya minimal 12 tahun. Meskipun pada dasarnya jarang ada pekerjaan bersih dan enteng yang menjamin lulusan SMA.
Sebenarnya ada hal yang bisa dicapai untuk mereka yang tidak bisa mendapatan pendidikan tinggi, yaitu tuntutan kreativitas. Ya kretivitas berperan penting bagi mereka. Dengan kreativitas mereka bisa melakukan apapun yang mereka mau, tentu saja berkarya untuk ditukarkan dengan uang.
Ternyata banyaknya manusia yang tidak mengejar pendidikan tinggi di Indonesia menjadi hal yang biasa, bukan karena mengandalkan kreativitas, tetapi karena mereka malas untuk bergerak, dan jumlah ini bertambah. Banyak alasan yang dijunjung pada kesempatan yang sempit ini, alasannya faktor ekonomi, padahal tidak. Jika mereka beranggapan seperti itu maka, maka sama saja mereka merendahkan apa yang diperjuangkan orang tua sebagai pencari rezeki atas kependidikan ini. Di sini seolah-olah peran orang tua tidak berguna dan tidak dipikirkan, tetapi memang walau bagaimanapun pendidikan adalah penting dan wajib.
Orang tua pun tidak ada yang tega dengan kondisi anak-anaknya yang buta dengan pengetahuan, ya setidaknya mereka bisa mengubah sejarah orang tua mereka. Sesulit, seberat apapun pekerjaan orang tua, tetap saja tidak mengubah status pendidikan dari penting menjadi tidak penting. Sampai kapanpun pendidikan itu penting. Bukan hanya di Indonesia tetapi di luar negara Indonesia juga penting, bahkan bila dibandingkan, kita banyak ketertinggalan dari mereka. Entah apa alasan utamanya, yang jelas dari SDMnya sudah terlihat sangat jelas, siapa yang berniat dan tidak.
Di Indonesia diwajibkan menempuh pendidikan sampai 12 tahun, dan untuk pendidikan selanjutnya memang tidak diwajibkan tetapi disarankan. Biasanya mereka yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi sudah memiliki rencana, tentu saja rencana positif. Ada yang melanjutkan kursus bahasa asing, memasak, kursus bagaimana menjadi wirausaha, adapula yang mengabdi menjadi guru ngaji, dll. Dengan adanya pola pikir seperti ini menjadi panutan bagi mereka yang berleha-leha di atas ranjang. Untuk soal biaya, ya biaya lagi biaya lagi, setidaknya tidak semahal di perguruan tinggi, lagipula tidak ada sistem DO, karena apabila tidak pernah mengikuti kursus tersebut yang rugi juga mereka sendiri (pendaftar).
Adapula mereka yang setelah lulus dari SMA tidak melanjutkan untuk kuliah, melainkan ya seperti yang saya tuliskan tadi, menciptakan kreativitas. Misalnya mendaur ulang sampah plastik, menjadi tas atau membuat layang-layang untuk dijual. Bagi yang memiliki hobi melukis bisa menjual hasil lukisannya. Apapun yang mereka lakukan, minimal meminimalisir pengangguran dan membunuh kebodohan dan kemalasan.
Lalu bagaimana dengan pekerjaan bagi mereka yang hanya lulusan SMA?
Ya, seperti yang saya tuliskan tadi, tidak menjamin pekerjaan yang ringan dan instan. Maksudnya ada seorang tamatan SMA tetapi ia memiliki cita-cita sebagai manajer, ya tidak bisa. Maksudnya pekerjaan yang tidak ringan dan instan itu memerlukan bantuan fisik yang berlebihan. Misalnya seorang SPG. Berbeda dengan manajer atau insinyur yang membutuhkan kerja pikiran.
Di Indonesia ada pikiran yang sudah mendarah daging dan berakar yang menyebabkan generasi bangsa enggan untuk melanjutkan kuliah di perguruan tinggi yaitu:
“Kuliah? Sarjana aja nganggur!”
Pikiran ini salah kaprah!