Lihat ke Halaman Asli

Esti Maryanti Ipaenim

TERVERIFIKASI

Broadcaster, seorang ibu bekerja yang suka baca, nulis dan ngonten

Apakah Semua Akan Kembali Normal?

Diperbarui: 25 April 2020   21:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi : Solidaritas (dhl.com)

Semalam saat bersama suami menyiapkan sahur sambil mendengarkan berita di TV, saya sempat teringat keluarga di kampung halaman, juga orang-orang yang akan sangat merasakan betapa berbedanya Ramadan tahun ini.

"Ya Allah, Semoga semua kembali normal, kembali seperti sedia kala" ujar saya.

"Tergantung apa yang kamu maksud sebagai normal dan sedia kala" Suami saya menimpali.

Lalu mulailah diskusi itu. Diskusi yang mempertanyakan, bagaimana bila inilah justru cara Tuhan mengembalikan semua seperti sedia kala dalam kemahabijaksanaan-Nya?

Bagaimana bila kondisi saat ini adalah jawaban dari rintihan segelintir umat-Nya yang kerap kali kecewa pada hirarki status, egoisme, individualisme, dan kapitalisme yang menindas?

Bagaimana kalau perhitungan kita tentang awal mula pandemi telah meleset, bagaimana bila pandemi ini bukanlah permulaan melainkan sebuah proses menuju penyelesaian?

Bagaimana bila penglihatan kita tentang impian-impian yang tidak tercapai, ekonomi yang hancur, mata pencaharian yang hilang, adalah segala yang kasat belaka? Bagaimana bila ada hal-hal yang perlu dilihat dengan mata batin, seperti solidaritas dan altruisme yang kembali menggeliat?

Ya diskusi itu sepintas lalu saja, teralihkan dengan topik lain yang entah apa. Tapi tentang 'kenormalan' yang saya sebut-sebut dalam ujaran itu benar-benar membuat saya berkontemplasi.

Kita semua mendefinisikan apa yang seharusnya "normal" bagi diri kita sendiri. Kemudian kita menjadi terikat pada visi tersebut. Seperti konsep bahwa "Orang-orang akan bekerja keras, membeli kendaraan dan rumah, bertemu dan bergaul dengan orang-orang lain, memulai bisnisnya sendiri lalu menghidupi dirinya dan keluarganya."

Kita berkomitmen pada visi kenormalan seperti itu. Kita menerima visi itu seperti sesuatu yang sudah selayaknya, mau tidak mau, karena semua orang begitu. Maka ketika visi itu diambil dari kita, kita menjadi sangat kesal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline