Dulu pernah ketika saya ditanya mau punya suami seperti apa, jawaban saya pasti pakai bullet and numbering. Pertama harus begini, kedua harus begitu, ketiga, keempat dan seterusnya.
Daftarnya bisa sangat panjang dan sampai ke hal-hal spesifik penampilan fisik seperti; dia harus tinggi soalnya saya pendek, dia harus mancung, soalnya saya kepengen anak saya mancung juga dan prasyarat yang masih banyak lagi. Well, Saya memang pernah sereceh itu.
Sekarang, setelah menikah dan merasakan turbulensi hubungan dua orang dengan dua isi kepala yang berbeda, saya merasa tidak perlu lah membuat daftar numbering sebanyak itu. Mengapa?
Sederhana saja, tidak ada yang sesempurna dan seideal yang ada dalam angan-angan kita. Yang ada pandangan kita tentang pasangan tersebut lah yang akan menentukan sempurna atau tidaknya ia bagi kita.
Tapi, ada satu prasyarat pasangan yang menurut saya menjadi hal wajib. Dan itu adalah, suportif.
Pasangan hidup adalah orang yang akan selalu bersama kita, bayangkan kalau ia tidak bisa menjadi bagian dari support system kita? Begitupun sebaliknya, kita menjadi bagian dari support system nya.
Di dalam saling support include berbagai hal lain seperti memahami kita (dan keluarga kita), menghargai pilihan dan perbedaan apapun yang ada, melindungi, menyayangi mau berkorban dan hal-hal lain yang biasanya kita list satu per satu dalam daftar prasyarat pasangan ideal.
Banyak orang menikah atas dasar tergila-gila karena cinta, namun tak jarang atas dasar cinta pasangan menjadi posesif.
Banyak orang menikah karena seiman dan seagama tanpa benar-benar mengenal calon pasangannya. Atas dasar agama saja itu tak jarang pula terjadi pemaksakan kehendak pribadi dan berakhir abusive.
Contoh paling nyata adalah seorang yang mengaku ulama namun mati-matian menolak ada pasal undang-undang yang menghukum bila salah satu dari pasangan memaksa melakukan hubungan suami istri disaat pasangannya sedang tidak ingin.