Lihat ke Halaman Asli

Esti Maryanti Ipaenim

TERVERIFIKASI

Broadcaster, seorang ibu bekerja yang suka baca, nulis dan ngonten

Kritik ala Pinokio

Diperbarui: 19 September 2019   15:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Boneka Pinokio (suar.id)

Ketika marah, orang-orang sering mengatakan bahwa kesabaran itu ada batasnya. Tapi koq di telinga saya itu terdengar sebagai sebuah ironi. Kesabaran itu tentu tidak terbatas, kalau terbatas ya tentu sudah bukan sabar.

Misalnya, bila anda berbuat baik, lalu orang lain membalas anda dengan kejahatan, anda mungkin akan sedikit tidak nyaman, marah-marah karena merasa dizalimi dan dimanfaatkan, lalu belajar untuk tidak mempedulikan orang itu lagi. Tak apa, itu manusiawi. Tapi tidak perlu juga anda membalas kejahatan itu. Bersabarlah. Itu yang diajarkan orang-orang suci.

Nah, kalau anda berbuat sesuatu yang menurut anda baik, tapi anda dikritik, karena dianggap perbuatan anda itu punya potensi side effect yang berbahaya, maka anda tidak perlu merasa tidak nyaman dan marah. Anda justru harus peduli terhadap kritik tersebut, dan melakukan kontemplasi akan gagasan-gagasan konstruktif yang ada dalam kritik itu. Sehingga produk kebaikan anda yang berikutnya mungkin akan lebih tepat guna. Jangan sampai baper, siapapun anda, apalagi bila anda adalah pemimpin negara.

Yang harus diingat kritik bukanlah kejahatan. Namun cara penyampaian kritik itu bisa jadi dianggap kejahatan. Seperti kata pepatah dari negeri tirai bambu, na shi liang ma shi, itu adalah dua urusan yang berbeda.

Seperti mengkritik lewat gambar bayangan si pinokio yang berjejer dengan gambar presiden Jokowi pada cover sebuah majalah nasional yang pagi ini baru saya baca. Entahlah apa maksud asli si penggambar, tapi apapun maksudnya, maksud tersebut sudah sampai dengan tafsir yang berbeda-beda tergantung mazhab si penafsir.

Ada mazhab positivis, yang menerima kritik pada gambar tersebut dan menganggapnya benar sebenar-benarnya, dan menutup pintu untuk pemahaman mazhab lain. Ada mazhab kritis, yang menerima kritik dengan mengkritik balik majalah dan karikatur itu, kritik di atas kritik.

Tapi yang paling asik adalah yang mazhab oportunis. Lumayan buat jadi bahan gorengan, bermanuver minta presiden turun jabatan. Lah terus apa kabar bayangan pinokio-nya?

Entahlah, tapi kritik ala pinokio ini menarik. Mungkin si penggambar memiliki mazhab tersendiri, mazhab ala pinokio. Yakni mazhab dengan kepentingan si pinokio sendiri. Karenanya saya ingin mempertanyakan kritik seperti itu apakah memang valid? Terutama ketika media pengusung kritik ala pinokio, ketika ditanya menjawab bahwa mereka tidak bermaksud menghina. Lah iya kan apapun maksudnya, itu tentu akan ditafsirkan orang berbeda-beda, termasuk dianggap menghina.

Siapapun boleh memberi kritik. Tapi sayangnya sekarang-sekarang ini kritik masing-masing orang itu menurut kepentingannya sendiri. Apa itu bukan berarti dalam setiap kritik juga ada potensi si pinokio? Wajar sih, memang setiap jiwa punya potensi seperti itu. 

Dalam psikologi bahkan apa yang sering dilakukan pinokio yaitu berbohong, disebut sebagai sebuah mekanisme pertahanan diri. Ia selayaknya spektrum, kadang besar potensinya kadang juga kecil, kadang bisa diredam, kadang tak kuasa ditahan, tapi  selalu ada.

Nah, meskipun potensinya ada, yang jelas kritik harusnya terbebas dari agenda tersembunyi. Kritik apalagi yang ditulis oleh media yang mengaku netral haruslah mengeksplorasi dua sisi. Kalau tidak, rentan dicap hanya sensasi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline